Kamis, 14 Mei 2009

Pendapat Imam as-Sayuthi tentang Maulid Nabi

MAULID TANDA KEGEMBIRAAN UMAT
Dan ketika hampir tiba saatnya kelahiran insan tercinta ini,
gema ucapan selamat datang yang hangat berkumandang di langit dan bumi.
Hujan kemurahan Ilahi tercurah atas penghuni alam dengan lebatnya,
Lidah malaikat bergemuruh mengumumkan kabar gembira kuasa Alloh menyingkap tabir rahasia tersembunyi,
membuat cahaya Nur-Nya terbit sempurna di alam nyata;
“CAHAYA MENGUNGGULI SEGENAP CAHAYA”
Ketetapan-Nya pun terlaksana atas orang pilihan yang ni’mat-Nya disempurnakan bagi mereka;
yang menunggu detik-detik kelahirannya;
sebagai penghibur pribadinya yang beruntung;
dan ikut bergembira mereguk ni’mat berlimpah ini.
Maka hadirlah dengan taufik Alloh;
As-Sayyidah Maryam dan As-sayyidah Asiah,
bersama sejumlah bidadari surga yang beroleh kemuliaan agung yang di bagi-bagikan oleh Alloh atas mereka yang di kehendaki.
Dan tibalah saat yang telah di atur Alloh bagi kelahiran (maulud) ini.
Maka menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah terang benderang menjulang tinggi…….
Dan lahirlah insan pemuji dan terpuji_tunduk khusyu’ di hadapan Alloh,
dengan segala penghormatan tulus dan sembah sujud.
Demikianlah syair yang ditujukan atas peristiwa di detik-detik kelahiran Nabi Saw yang di gubah oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Imam Nawawy Al-Banteny Al-Jawy didalam kitabnya yang berjudul “Ma’aarij” menyatakan :
“bahwa orang yang mementingkan aktif didalam peringatan maulid Nabi Muhammad S.a.w. itu adalah dari pada sebesar-besarnya ibadah dengan diisi pembacaan Al-Qur’an, bersedekah, dan menerangkan sejarah kelahiran Nabi S.a.w.
Namun apa penertian maulid itu ?”. Maulid secara bahasa berarti adalah hari kelahiran adapun maulid yang biasa kita kenal adalah suatu perayaan/peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.a.w. yang di selenggarakan secara berjamaah dibacakan ayat-
ayat Alqur’an dan riwayat hidup kekasih Alloh Nabi Muhammad Saw serta sholawat dan pujian-pujian kepada beliau Saw, dengan maksud mengagungkan martabat Nabi Muhammad SAW dan memperlihatkan kegembiraan Kaum muslimin menyambut kelahiran beliau S.a.w.
Assayid Al-Hafizd Al-musnid Prof.Dr. Muhammad Bin Alwy Al-Maliky Al-Hasaniy mufti Mekkah mengutarakan tentang ja’iznya/bolehnya perayaan atau peringatan maulid Nabi SAW didalam kitabnya yang berjudul “Mafahim Yajibu An Tusahhah”, yang kita sebutkan beberapa diantaranya:
a) peringatan maulid memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka, Nabi Muhammad SAW. bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau seperti Abu Lahab, misalnya. sebuah hadist didalam Shohih Bukhori menerangkankan, bahwa tiap hari senin Abu Lahab diringankan adzabnya, karena
memerdekakan budak perempuannya, tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya. ‘abdulloh bin abdulmutholib, yaitu Nabi Muhammad Saw, jadi jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Nabi Muhammad Saw apalagi orang beriman.
b) Rosululloh S.a.w. sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Alloh S.W.T. atas karunia ni’mat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan di alam wujud sebagai hamba Alloh yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh wajud. Cara
beliau menghormati hari kelahirannya ialah dengan berpuasa.
Sebuah Hadist dari Abu Qotadah menuturkan, bahwa ketika Rosululloh S.a.w. ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari senin, beliau menjawab:
“pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Alloh menurunkan wahyu kepadaku” ( diriwayatkan oleh Muslim didalam Shahih-nya ).
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuannya adalah sama, yaitu peringatan.
Peringatan dapat dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada fihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berzikir dan bersholawat, atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia.
C) pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi Muhammad S.a.w. merupakan tuntunan Al Qur’an.
Alloh berfirman:
“Katakanlah : dengan karunia Alloh dan rahmat_Nya, hendaklah (dengan itu ) mereka bergembira”. (S. Yunus:58)
Alloh S.W.T memerintahkan kita bergembira atas rahmat_Nya, dan Nabi Muhammad S.a.w. jelas merupakan rahmat terbesar bagi kita dan alam semesta :
“Dan kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (S. Al_Anbiya : 107).
D) Memuliakan Rosululloh S.a.w. adalah ketentuan syari’at yang wajib dipenuhi. Memperingati ulang tahun kelahiran beliau dengan memperlihatkan kegembiraan, menyelenggarakan walimah, mengumpulkan jama’ah untuk berzikir mengingat beliau, menyantuni kaum fakir miskin dan amal-amal kebajikan lainnya adalah bagian dari cara kita menghormati dan memuliakan beliau. Itu semua menunjukan pula betapa betapa besar kegembiraan dan perasaan syukur kita kepada Alloh atas hidayat yang dilimpahkan kepada kita melalui seorang Nabi dan Rosul pilihan-Nya.
E) Perayaan atau peringatan maulid Nabi dipandang baik oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negri, dan diadakan oleh mereka. Menurut kai’dah hukum syara’ kegiatan demikian itu adalah Mathlub syar’an ( menjadi tuntutan syara’).
Hadist mauquf dari Ibnu Mas’ud R.a. menegaskan :
“apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, di sisi Alloh itu adalah baik, dan apa yang di pandang buruk oleh kaum muslimin, disisi Alloh itu adalah buruk ” (Hadist di
keluarkan oleh Imam Ahmad).
BEBERAPA PANDANGAN PARA ULAMA MENGENAI MAULID.
Telah berkata Sulthanul-’Arifin Jalaluddin as-Sayuthi dalam kitabnya berjudul “al-Wasaail fi syarhisy Syamaail”:-
“Tidak ada sebuah rumah atau masjid atau tempat yang dibacakan padanya Mawlidin Nabi s.a.w. melainkan akan dikitari/dikelilingi/diselubungi tempat itu oleh para malaikat akan ahli yang hadir di tempat tersebut serta dirantai mereka oleh Allah dengan rahmat. Para malaikat yang diselubungi/diliputi/dikalungi cahaya yaitu Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, ‘Aynail, ash-Shaafun, al-Haafun dan al-Karubiyyun, maka bahwasanya mereka berdoa bagi siapa-siapa yang menjadi sebab untuk pembacaan Mawlidin Nabi s.a.w. “
Imam as-Sayuthi berkata:
“Tidak ada seseorang Islam yang diperbacakan dalam rumahnya akan Mawlidin Nabi s.a.w. melainkan diangkat Allah kemarau, wabah, kebakaran, malapetaka, bala bencana, kesengsaraan, permusuhan, hasad dengki, kejahatan ‘ain (sihir pandangan) dan kecurian daripada ahli rumah tersebut, maka apabila dia mati, Allah akan mempermudahkan atasnya menjawab soal Munkar dan Nakir dan adalah dia ditempatkan pada kedudukan as-Shidq di sisi Allah Raja yang Maha Berkuasa.”
Mungkin ada yang bertanya kenapa ada orang baca mawlid tetapi masih menerima malapetaka dan bencana. Apa mau dikata, bahkan para Nabi pun mendapat musibah duniawi sebagai ujian daripada Allah s.w.t., karena semuanya berlaku atas kehendak Allah semata-mata. namun musibah duniawi adalah ringan dibanding musibah berbentuk maknawi. Keselamatan dari musibah maknawi ini yang diutamakan, biar rumah kita dicuri asalkan iman dan kesabaran serta tawakkal kita pada Allah tidak turut dicuri . Mungkin juga Allah belum menerima amalan kita, sehingga tidak menjadi sebab mendapat rahmat Allah tersebut, oleh itu teruskan usaha dan tingkatkan amal. Yakin kepada kemurahan Allah yang tiada terbatas dan carilah syafaat daripada Junjungan s.a.w.
Lebih lanjut Imam jalaluddin As-suyuty menjelaskan dalam risalahnya yang berjudul “Husnul-Maqosid fi A’malil-Maulid :
“orang pertama yang menyelenggarakan peringatan maulid Nabi SAW ialah Sultan Al-Mudzaffar, penguasa arbil (suatu tempat di Iraq sebelah timur / selatan kota mausil). peringatan tersebut dihadiri oleh para ulama terkemuka dan orang-orang sholeh dari kaum sufi. tiap tahun Al-Mudzaffar mengeluarkan biaya sebesar 300.000 dinar untuk peringatan maulid, dengan niat semata-mata untuk taqorrub kepada Alloh SWT
Menurut kenyataan, tak seorang pun dari ulama dan orang-orang saleh yang hadir dalam peringatan itu mengingkari kebajikan dan fadilah peringatan maulid, bahkan semua merestui dan memuji prakarsa Sultan Mudzaffar.
Atas permintaan Sultan Mudzaffar, Ibnu Dahyah menulis sebuah kitab khusus mengenai maulid Nabi SAW dengan judul: “At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir An-Nazdir”.
Kitab itu ditulis pada tahun 604 H. dan ternyata diakui kebaikannya oleh para ulama pada masa itu.
Syaikh DhiyaUddin Ahmad bin Sa`id ad-Darini dalam kitabnya ” Thaharatul Qulub wal Khudu’ li Allamil Ghuyub” menulis antara lain:
-Mengingat atau memuji-muji Junjungan Nabi s.a.w. akan menambahkan keimanan, menerangi hati dan menyingkap rahasia kebijaksanaan Tuhan. Allah s.w.t. telah menetapkan cinta kepada Junjungan Nabi s.a.w. sebagai syarat untuk mencintai-Nya dan taat kepada-Nya sebagai ukuran kepatuhan kepada-Nya. Mengingat Junjungan Nabi s.a.w. juga berhubungan dengan mengingat Allah s.w.t. sebagaimana bai’ah kepada Junjungan Nabi s.a.w. juga berkait dengan bai’ah kepada-Nya.
Sayyidisy-Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitabnya “I`anatuth-Tholibin” jilid 3 halaman 414 menyatakan antara lain:
-Telah berkata Imam al-Hasan al-Bashri qaddasaAllahu sirrah: “Aku berikan jika ada padaku seumpama gunung Uhud emas untuk kunafkahkan atas pembacaan mawlid ar-Rasul.”Telah berkata Imam al-Junaidi al-Baghdadi rhm.: “barang siapa yang hadir mawlid ar-Rasul dan membesarkan derajat baginda, maka telah sempurna imannya.”Telah berkata Syaikh Ma’ruuf al-Karkhi qds.: “barang siapa yang menyediakan untuk pembacaan mawlid ar-Rasul akan makanan, menghimpunkan saudara-saudaranya, menyalakan lampu-lampu,berpakaian baru, berwangi-wangian, berhias-hias, demi membesarkan mawlid Junjungan s.a.w., niscaya dia akan dihimpunkan oleh Allah ta`ala pada hari kiamat bersama-sama kumpulan pertama daripada para nabi dan jadilah dia berada pada derajat yang tinggi di syurga. Dan barang siapa yang telah membaca mawlid ar-Rasul s.a.w. di atas dirham-dirham perak atau emas, dan mencampurkannya bersama dirham-dirham lain, maka akan turun keberkahan dan tidaklah akan miskin pemiliknya serta tidak akan kosong tangannya dengan berkah mawlid ar-Rasul s.a.w.”
Seterusnya Sidi Syatha dalam “I`anatuth-Tholibin” menyambung:
-Dan telah berkata al-Imam al-Yafi`i al-Yamani (sesetengah kitab tersilap cetak di mana huruf “ya” berubah kepada “syin” menyebabkan perkataan ini dinisbahkan kepada Imam asy-Syafi`i):
- “barang siapa yang menghimpunkan untuk Mawlidin Nabi s.a.w. saudara- saudaranya, menyediakan makanan dan tempat serta berbuat ihsan sehingga menjadi sebab untuk pembacaan Mawlidir Rasul s.a.w., dia akan dibangkitkan Allah pada hari kiamat berserta dengan para shiddiqin, syuhada` dan sholihin serta dimasukkan dia ke dalam syurga-syurga yang penuh keni’matan.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya “al-Mawlid asy-Syarif al-Mu`adzdzham”, Syaikh Ibnu Zahira al-Hanafi dalam “al-Jami’ al-Lathif fi Fasl Makkah wa ahliha”, ad-Diyabakri dalam “Tarikh al-Khamis” dan Syaikh an-Nahrawali dalam “al-I’lam bi a’lami Bait Allah al-haram”, menulis senario sambutan Mawlid Nabi s.a.w. di Makkah seperti berikut:
Setiap tahun tanggal 12 Rabi`ul Awwal, selepas sembahyang Maghrib, keempat-empat qadhi Makkah (yang mewakili mazhab yang empat) bersama-sama orang banyak termasuk segala fuqaha, fudhala` (orang kenamaan) Makkah, syaikh-syaikh, guru-guru zawiyah dan murid-murid mereka, ru`asa’(penguasa-penguasa), muta`ammamin (ulama-ulama) keluar meninggalkan Masjidil Haram untuk pergi bersama-sama menziarahi tempat Junjungan Nabi s.a.w. dilahirkan. Mereka berarak dengan maelantunkan zikir dan tahlil. Rumah-rumah di Makkah diterangi cahaya pelita dan lilin. Orang yang turut serta amat banyak dengan berpakaian indah serta membawa anak-anak mereka. Setiba di tempat kelahiran tersebut, ceramah yang berkaitan Mawlidin Nabi disampaikan, serta kebesaran, kemuliaan dan mu’jizat Junjungan diceritakan. Setelah itu, doa untuk Sultan, Amir Makkah dan Qadhi Syafi`i dibacakan dengan penuh khusyu’ dan khudu`. Setelah hampir waktu Isya`, barulah mereka berarak semula pulang ke Masjidil Haram untuk menunaikan sholat Isya`.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“kemulian hari mauled Nabi Muhammad S.a.w. dan diperingatinya secara berkala (berlanjut) sebagaimana yang di lakukan kaum muslimin tentu mendatangkan pahala besar, mengingat maksud dan tujuannya yang sangat baik, yaitu menghormati dan memuliakan kebesaran Nabi dan Rosul pembawa hidayat bagi semua ummat manusia.
Sumber :
Al-Bayan Asyaafii Fi Mafahim Al-Khilaafii, As-Sayyid Muhammad bin Husein Al-Hamid Al-Husaini.

http://orgawam.wordpress.com/2008/04/02/maulid-tanda-kegembiraan-umat/www.nurulmusthofa.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=93 Selengkapnya...

Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW

PESANTREN DAN TRADISI MAWLID
Telaah Atas Kritik Terhadap Tradisi Membaca Kitab Mawlid di Pesantren
Thoha Hamim1
Peringatan Mawlid Nabi Muhammad SAW. sejak pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117.M.) sudah menimbulkan kontrofersi. Peringatan tersebut saat itu memang masih dalam taraf ujicoba. Ujicoba kelayakan ini tanpak ketika penguasa Dinasti Fatimiyah berikutnya melarang penyelenggaraan peringatan Mawlid tadi2. Peringatan Mawlid diadakan untuk menegaskan bahwa keluarga Dinasti Fatimiyah adalah betul betul keturunan Nabi Muhammad SAW. (ahl al-bayt). Penegasan hubungan geneologi ini sangat diperlukan untuk mengesahkan “hak” keluarga Fatimiyah sebagai “pewaris kekuasaan politiknya” Nabi Muhammad.
Bukti lain bahwa keabsahan peringatan Mawlid masih diperdebatkan adalah, bahwa banyak ulama dari berbagai madhhab secara eksplisit menunjukkan sikap pro dan kontra terhadap tradisi ini. Al-Suyuti, seorang ulama’ dari madhhab Shafi’i, menulis kitab Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid untuk mengesahkan tradisi Mawlid. Sebaliknya, al-Fakihin, seorang ulama dari madhhab Maliki, menolak peringatan Mawlid yang secara terurai dia jelaskan alasan alasannya dalam kitabnya al-Mawrid fi Kalam ‘al-Mawlid3.
Dalam era modern, peringatan Mawlid bukan hanya dipersoalkan oleh kelompok reformis-puritan, seperti orang-orang Wahhabi yang dengan tegas mengharamkannya, tetapi juga oleh mereka yang moderat. Argumen “klise” yang mereka ajukan adalah bahwa peringatan Mawlid tidak diperintahkan dalam nass (teks) al-Qur’an, tidak pula dicontohkan oleh Rasul Allah dan juga tidak pernah ditradisikan oleh para Salaf4.
Peringatan Mawlid berubah menjadi sebuah perayaan yang di selenggarakan hampir disetiap kawasan Islam, setelah dipopulerkan oleh Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur wilayah Irbil di masa pemerintahan Sultan Salah al-Din al-Ayyubi. Peringatan yang sepenuhnya memperoleh dukungan dari kelompok elit politik saat itu, diselenggarakan untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam yang sedang menghadapi ancaman serangan tentara Salib (Crusaders) dari Eropa. Namun perlu disebutkan bahwa peringatan ini diselenggarakan dengan menyisipkan kegiatan hiburan, dimana atraksi atraksinya melibatkan para musisi, penyanyi serta pembawa cerita (story tellers). Ukuran kemeriahan peringatan bisa dilihat dari banyaknya jumlah pengunjung yang datang dari berbagai kawasan, bahkan sampai dari luar wilayah kekuasaannya Abu Sa’id al-Kokburi5.
Perdebatan tentang peringatan Mawlid juga berlangsung cukup sengit di Indonesia di era sebelum tahun 1970-an. Walaupun perdebatan serupa sekarang resonansinya sudah tidak nyaring lagi, namun perdebatan tersebut sesekali muncul dalam saat saat tertentu dan tentu dalam sekala yang sangat kecil dan materi yang berbeda6.
Kritik terhadap peringatan Mawlid di Indonesia pada era sebelum tahun 1970-an diarahakan kepada tradisi membaca tiga kitab Mawlid, yang dilakukan oleh kalangan pesantren, yaitu al_Barjanji, al-Diba’i, dan al-Burdah. Kalangan pesantren memang menjadikan tiga kitab tersebut sebagai bahan bacaan tunggal dalam setiap kegiatan peringatan Mawlid mereka. Perlu disebutkan bahwa kalangan pesantren bukan hanya membaca tiga kitab tersebut, tetapi juga memasukkan kajian Mawlid kedalam kurikulum pondok pesantren mereka. Kitab Mawlid yang dipakai dalam kajian ini umumnya yaitu, Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud, karangan Muhammad Ibn ‘Umar al-Bantani7
Mereka yang menolak peringatan Mawlid menganggap bahwa peringatan Mawlid yang dilakukan dengan cara membaca tiga kitab tadi adalah perbuatan tercela (bid’ah dalalah). Sewlanjutnya mereka menuduh bahwa dengan tetap mempertahankan tradisi Mawlid, maka berarti kalangan pesantren telah mengesahkan amalan yang dicela Islam8. Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa pujian yang termuat dalam tiga kitab tadi melanggar batasan puji pujian yang digariskan oleh Syari’ah. Menurut mereka, materi pujian yang menggambarkan Nabi sebagai pemberi syafa’ah, ampunan dan keselamatan adalah perbuatan syirk, karena pujian seperti itu menempatkan Nabi dalam kapasitas sebagai pemberi keselamatan, sebuah status yang menjadi hak mutlaknya Tuhan saja9.
Penolakan terhadap konsep syafa’ah memang bisa difahami. Al-Qur’an sendiri tidak memberikan kepastian hukum yang tegas terhadap kedudukan syafa’ah. Sementara dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an menganggap syafa’ah sebagai perilaku yang tidak benar, sedangkan dalam ayat lain al-Qur’an tidak menolaknya10. Namun dalam sebuah hadith, Rasul Allah SAW. diriwayatkan pernah memberikan syafa’ah kepada seseorang yang telah meninggal. Bahkan hadith yang memberitakan tentang syafa’ah tersebut bukan hanya memiliki kualitas shahih, tetapi juga qudsi11. Barangkali karena konsep syafa’ah sudah memiliki landasan nass hadith, maka sebagian ulama kemudian menerima keabsahan syafa’ah dengan cara membuat kesepakatan sampai ke tingkat ijma’(konsensus)12.
Perlu dijelaskan bahwa syafa’ahnya Rasul Allah yang diberikan kepada ummatnya besok pada hari Kiamat memang sering disebutkan dalam beberapa kitab hadith13. Syafa’ah yang akan diberikan Rasul Allah di hari Kiamat itulah jenis syafa’ah yang dimaksudkan dalam tiga kitab Mawlid tadi. Kitab Qasidat al-Burdah misalnya menggambarkan jenis syafa’ah dimaksud sebagaimana yang dinyatakan dalam salah satu bait syair dalam kitab itu yang artinya : “Dia (Muhammad) adalah orang yang dicintai dan yang syafa’atnya diharapkan kelak bisa membebaskan (ummatnya) dari kegalauansuasana (dihari Kiamat) yang sangat menakutkan itu (huwa al-habibu al-ladhi turja syafa’atuhu min kulli hawlinmina al-ahwali muqtahimi)”14.
Yang menarik dalam mengamati penolakan tersebut adalah bahwa para penolak telah mengeluarkan tradisi pujian kepada Nabi dari dimensi kesejarahannya. Tanpaknya mereka tidak memperhitungkan bahwa tradisi pujian sudah ada sejak masa hidupnya Rasul Allah. Dengan kata lain bahwa pujian kepada Rasul Allah SAW. (prophetic panagerics) adalah sebuah tradisi yang usianya setua Islam itu sendiri. Tradisi ini diperkenalkan oleh tiga penyair resminya Rasul Allah, yaitu Hassan Ibn Thabit, Abd Allah Ibn Rawahah dan Ka’ab Ibn Malik.
Tradisi pujian kepada Rasul Allah ini bukan hanya disetujui oleh Nabi, tetapi juga didorongnya. Hal ini tampak ketika Nabi memuji Ka’ab Ibn Zuhayr yang menggubah qasidah pujian kepadanya. Nabi setelah mendengarkan pujian yang disampaikan oleh Ka’ab sangat terkesan, sampai sampai beliau melepaskan burdahnya dan dikenakan ketubuh Ka’ab sebagai hadiah sekaligus ungkapan persetujuan. Qasidah pujian yang digarap oleh tiga penyairnya Rasul Allah dan Ka’ab kemudian menjadi acuan bagi para penyair Muslim, ketika berkreasi menciptakan pujian, baik dalam bentuk syi’ir (puisi) maupun nathr (prosa), sebagaimana tanpak dalam tiga kitab pujian yang beredar dikalangan pesantren tersebut. Produktifitas karya pujian mereka kepada Nabi melahirkan sebuah genre (jenis) pujian khas, dengan karakter prosody (ritme) yang spesifik, yang dalam kajian sastra Arab dikenal dengan istilah al-Mada’ih al-Nabawiyah (Prophetic Penegerics)15.
Bentuk pujian yang diungkapkan oleh para penyair dalam genre Mada-ih al-Nabawiyah memang menggunakan bahasa yang penuh dengan ungkapan metaphorik dan simbolik agar kesempurnaan pribadi Nabi bisa terungkapkan dengan jelas. Hal seperti ini tentunya bisa dimaklumi, karena al-Qur’an sendiri ketika menyebut nama Muhammad seringkali diiringi dengan berbagai ungkapan pujian yang elok, agar peran Nabi sebagai manusia pilihan yang harus diteladani bisa tergambarkan16.
Pujian kepada Nabi yang terangkum dalam tiga kitab Mawlid tersebut , walaupun disajikan dalam ungkapan bahasa yang dipenuhi metaphor dan simbol, bukan tipe pujiannya kalangan sufi tertentu, yang seringkali mengangkat derajat kemanusiaannya Muhammad SAW. sampai ketingkat Tuhan (deity). Bahkan Qasidat al-Burdah yang komplek dalam menggunakan ungkapan metaphorik dan simbolik, dibandingkan dengan al-Barjanzi dan al-Diba’i, dan karenanya akan membuka peluang untuk menjadi ekstrim dalam mengungkapkan pujiannya, selalu mawas diri agar tidak terjerumus kedalam pola pujian yang melampaui batas. Al-Busiri, pengarang al-Burdah, mengecam mereka yang memuji Nabi sampai menghilangkan dimensi kemanusiaannya. Menurutnya, pujian ekstrim seperti itu dilarang keras oleh Rasul Allah sendiri, sebagaimana yang dinyatakan dalam sabda beliau bahwa “Janganlah engkau memberikan pujian kepadaku sampai melewati batas, sebagaimana pujian yang diberikan oleh orang Nasrani kepada Isa (la tutruni kama atra al-nashara Isa)”17.
Kritik terhadap Mawlid juga diarahkan pada cara para pembaca kitab Mawlid melagukan syair dan prosa bersanjak dalam tiga kitab tersebut, yang menurut mereka disertai dengan gerakan kepala18. Barangkali yang dimaksud dengan gerakan kepala adalah gerakan untuk berdhikir. Mereka menduga bahwa membaca kitab Mawlid selalu dibarengi dengan kegiatan dhikir. Perlu disebutkan disini, bahwa gerakan kepala baik yang dimaksudkan untuk berdhikir ataupun tidak, tidak ada dalam prosesi bacaan kitab Mawlid. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan kepala bisa saja terjadi sebagai reaksi spontan terhadap bahan bacaan yang memiliki ritme. Walaupun hanya Qasidah al-Burdah yang ditulis dalam bentuk puisi, al_Barzanji dan al-Diba’i juga memiliki ritme bacaan, karena keduanya ditulis dalam bentuk prosa bersanjak (al-nathr al-masu’)19.
Mengkaitkan dhikir dengan pembacaan kitab Mawlid memang bisa saja relefan, karena peringatan Mawlid adakalanya didahului dengan acara dhikiran, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi Mawlid di negeri Mesir20. Namun jika pengkaitan antara keduanya dilakukan untuk mengidentifikasikan karakter tradisi Mawlid di Indonesia, maka pengkaitan seperti itu tidak bisa dibenarkan, sekalipun dhikir dengan gerakan kepala adalah model dhikir yang diamalkan oleh warga pesantren yang notabene adalah juga pemilik tradisi membaca kitab Mawlid di Indonesia.
Mereka yang menolak tradisi Mawlid mendasarkan argumennya pada pendapat ulama yang menolak tradisi tersebut. Diantara mereka yang terkenal adalah Ibn al-Hajj, yang dalam kitabnya al-Madkhal sangat mengecam peringatan Mawlid, yang menurut pengamatannya selalu melibatkan aktifitas hiburan. Ibn al-Hajj menilai bahwa dengan memasukkan unsur hiburan kedalam peringatan Mawlid, maka peringatan tersebut telah berubah fungsi dari media untuk mengagungkan Rasul Allah SAW. menjadi media untuk melakukan perbuatan maksiyat21
Perlu diketahui bahwa Ibn al-Hajj, seorang ulama madhhab Maliki, memang terkenal sangat keras menentang kegiatan peringatan dan perayaan keagamaan apapun yang sudah menjadi tradisi pada masa hidupnya. Dia menulis kitab al-Madkhal yang khusus dirancang sebagai acuan bagi pelaksanaan tradisi keagamaan yang “benar”. Dalam kitab tersebut, Ibn al-Hajj mencantumkan sederetan contoh tradisi yang termasuk dalam kategori peringatan yang menurut pendapatnya bertentangan dengan Syari’ah dan yang tidak bertentangan dengannya22.
Ulama lain yang pendapatnya sering dijadikan sandaran oleh kelompok penolak peringatan Mawlid adalah Ibn Taymiyah. Ibn Taymiyah mengecam tradisi perayaan Mawlid, jika perayaan seperti itu dianggap sebagai bagian integral dalam peringatan Mawlid. Kegiatan perayaan seperti itu , menurut Ibn Taymiyah, akan menghilangkan nilai peringatan itu sendiri dan karenanya hanya pantas dilakukan oleh orang orang Zindiq23.
Namun perlu disebutkan bahwa sekalipun Ibn al-Hajj mengecam tradisi Mawlid, peringatan Mawlid yang tidak dibarengi dengan unsur-unsur hiburan (folkloric elements) baginya diperbolehkan. Malahan dia sendiri mengkategorikan peringatan Mawlid yang tidak melibatkan musik, lagu serta pesta sebagai tradisi yang baik. Sikap seperti ini bisa dimengerti, karena Ibn al-Hajj memahami Mawlid sebagai peristiwa yang harus diisi dengan kegiatan reflektif dan bukan dengan kegembiraan24. Sikap Ibn Taymiyah tidak jauh berbeda dengan Ibn al-Hajj, Ibn Taymiyah hanya menyoroti praktek praktek populer yang sudah menyatu dengan peringatan Mawlid. Sedangkan peringatan yang semata mata dilakukan untuk mengungkapkan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. menurutnya bukan kegiatan bermasalah.
Tradisi pembacaan Kitab pujian kepada Rasul Allah biasanya dilandaskan kepada pendapat para fuqaha’ dari madhhab Syafi’i, Ibn Hajar al-Asqalani, misalnya, menyatakan bahwa tradisi seperti itu menyimpan makna kebajikan. Al-Suyuti juga menunjukkan sikap toleran terhadap produk budaya yang dihasilkan oleh tradisi mengagungkan kelahiran Nabi25. Sikap kedua fuqaha tadi juga disepakati oleh fuqaha’ Syafi’i yang lain, diantaranya Ibn Hajar al-Haytami dan Abu Shamah. Bagi kedua fuqaha’ yang namanya disebutkan terakhir tadi, peringatan Mawlid menjadi datu perbuatan (baru) yang paling terpuji (wa min ahsani ma ubtudi’a), jika disertai dengan amal ihsan kemasyarakatan, seperti sadaqah, infaq serta kegiatan lain yang bernilai ibadah26.
Mereka juga menganggap bahwa hadith yang dipergunakan untuk mengesahkan tradisi Mawlid adalah hadith mawdu’. Menurut hadith ini, Nabi Muhammad pernah diriwayatkan bersabda bahwa : “Barang siapa yang mengagungkan hari kelahiranku, maka akan aku beri syafa’at nanti dihari Kiamat”27. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa orang orang yang melaksanakan peringatan Mawlid memang biasa menggunakan hadith yang lemah periwayatannya. Karena itu, menurut mereka, orang orang tersebut bukan hanya bertanggungjawab terhadap tersebarnya hadith mawdu’ tentang Mawlid, tetapi juga hadith mawdu’ lain yang melahirkan berbagai tradisi keagamaan di Indonesia yang tidak dibenarkan oleh agama28.
Hadith mawdu’ yang dinukil diatas adalah satu dari beberapa hadith serupa yang dimuat dalam kitab kitab hadith yang dijadikan teks di pondok pesantren, seperti Durrat al-Nasihin, Wasiyat al-Mustafa, Usfuriyah, dan Qurrat al-Uyun29. Kitab kitab teks tadi umumnya tidak mencantumkan klasifikasi hadith serta tidak menguji keabsahan para periwayat yang mentransmisikannya. Bahkan kitab Wasiyat al- Mustafa dapat dikatagorikan kitab yang semata mata menarasikan dialog antara Rasul Allah SAW. dengan Ali Ibn Abi Talib dalam soal moral, ritual maupun keyakinan. Karena itu Wasiyat al-Mustafa lebih tepat disebut sebagai kitab tuntunan praktis yang mengajarkan soal soal sopan santun, ibadah dan aqidah dan bukan sebagai kitab teks hadith30.
Kalangan pesantren yang melaksanakan tradisi peringatan Mawlid biasanya tidak menyandarkan kegiatan peringatan mereka pada hadith mawdu’ diatas. Mereka juga mengakui bahwa hadith itu termasuk salah satu dari beberapa hadith lain yang lemah yang dimuat dalam kitab kitab teks hadith tadi31. Mereka juga mengetahui bahwa memalsukan hadith adalah perbuatan dosa, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadith, yang bukan hanya memiliki kualitas sahih tetapi juga mutawatir32
Kalangan pesantren menganggap bahwa peringatan Mawlid sudah diisyaratkan sendiri oleh Rasul Allah, ketika beliau dalam sebuah hadith diriwayatkan pernah menyuruh sahabatnya berpuasa dihari Senin untuk memperingati hari kelahirannya33. Bahkan Ibn al-Hajj yang enggan menerima peringatan Mawlid juga menggunakan hadith tersebut sebagai dalil untuk mengesahkan peringatan Mawlid34. Perlu disebutkan bahwa hadith dimaksud memiliki tingkat keabsahan yang baik karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad Ibn Hanbal35.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka yang menolak peringatan Mawlid menganggap bahwa peringatan tersebut tidak memiliki landasan teks yang kuat. Meraka juga berkeberatan dengan materi bacaan yang termaktub dalam kitab pujian kepada Rasul Allah. Walaupun kalangan pesantren yang mempraktekkan peringatan tersebut tidak bisa mendatangkan dalil dari sumber primair Islam, yaitu -al-Qur’an, mereka memperoleh landasan hukum dari pendapat fuqaha’ madhhab Syafi’i, yang menetapkan tradisi seperti itu sebagai perbuatan yang disayogyakan (bid’ah hasanah) dan dari sebuah hadith yang secara tidak langsung telah mengisyaratkan perlunya peringatan Mawlid.
Perlu disebutkan bahwa perringatan Mawlid yang biasanya dipraktekkan oleh kalangan pesantren semata mata diisi dengan membaca kitab Mawlid dan tidak disertai dengan atraksi hiburan apapun. Adalah atraksi hiburan dalam peringatan Mawlid yang menyebabkan para ulama abad tengah, seperti Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah, mengganggap peringatan seperti itu sebagai perbuatan yang bermasalah. Demikian pula Muhammad Abduh. seorang ulama modern yang juga menyatakan keberatannya atas peringatan Mawlid, hanya mengkritik kegiatan kegiatan diluar acara inti peringatan, seperti pasar malam, panggung gembira dan lain sebagainya. Abduh menamakan peringatan Mawlid yang diisi dengan atraksi hiburan sejenis itu dengan istilah pasar kefasikan (suq al-fusuq)36.
Acara hiburan yang dapat menghilangkan kekhidmatan peringatan Mawlid bisa dijumpai dalam tradisi Grebeg Mawlid yang merupakan salah satu perayaan terpenting dalam tradisi budaya Islam Jawa. Grebeg Mawlid biasanya melibatkan atraksi hiburan, yang diselenggarakan dalam sebuah pasar malam, seperti gelar wayang kulit, pertandingan olah raga, drama, lotere bahkan judi37.
Atraksi atraksi semacam itulah yang menyebabkan ulama abad tengah enggan untuk menyetujui tradisi peringatan Mawlid. Karena peringatan Mawlid dalam prakteknya seperti itu , menurut mereka, kemudian berubah menjadi sebuah perayaan yang lebih menekankan pada aspek kegembiraan, hingga makna dan hikmah peringatannya hilang. Perlu disampaikan bahwa Grebeg Mawlid dalam prakteknya lebih tepat dikatakan sebuah perayaan. Kalaupun toh Grebeg Mawlid masih bisa dianggap sebagai peringatan, maka sisi peringatannyapun sarat dengan praktek praktek sinkritisme.
Sinkritisme ini tanpak dalam acara mengarak gunungan, yaitu makanan berbentuk gunung yang dihiasi dengan berbagai macam bunga, telur serta buah buahan. Prosesi ini sangat penting, karena mengarak gunungan adalah sebuah ritual pokok dalam Grebeg Mawlid, yang diyakini bisa melimpahkan barakah bagi para pesertanya. Setiap benda yang ditaruh dalam gunungan tadi dianggap menyimpan makna magis. Disamping itu, perayaan Grebeg Mawlid masih harus disempurnakan dengan pagelaran wayang kulit, walaupun puncak prosesinya ditutup dengan pembacaan kitab al-Barzanji, yang dilakukan oleh penghulu Keraton Yogyakarta, sebagai bukti bahwa Grebeg Mawlid adalah tradisi Islam38
Jika menggunakan tolok ukur yang ditentukan oleh Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah, dua ulama abad tengah yang pendapatnya dipegangi oleh kelompok penolak tradisi Mawlid, maka Grebeg Mawlid masuk kategori peringatan yang bermasalah. Dengan demikian maka sebetulnya yang lebih pantas untuk dikritik bukannya tradisi peringatan Mawlid yang inti acaranya adalah membaca kitab pujian, tetapi Grebeg Mawlid yang berporos pada acara hiburan serta ritual sinkritis.
Dari tema yang disajikan dalam makalah ini dapat dipetik satu kesimpulan bahwa, polemik tentang peringatan Mawlid adalah sarana untuk menguji keabsahan tradisi keagamaan dan bukan sekedar fenomena konflik internal antar kelompok dalam masyarakat Islam. Penolakan terhadap tradisi Mawlid adalah satu sikap yang perlu diambil untuk menghindari munculnya prilaku berlebihan dalam mengaktualisasikan rasa hormat dan kecintaan kepada Nabi. Sikap berlebihan bisa saja terjadi, karena silau dengan berbagai sifat sempurna yang mengitari kepribadian Muhammad. Pandangan pro dan kontra terhadap keberadaan tradisi Mawlid secara substantif tidak bertentangan antara satu dengan yang lain. Dua pandangan yang bentuk lahirnya kontradiktif itu diperlukan untuk menciptakan asas keseimbangan (equilibrium). Seimbang karena menempatkan Nabi sebagai manusia pilihan yang kelahirannya patut diperingati, namun dalam waktu yang sama mengindahkan norma yang telah digariskan oleh Nabi sendiri. Peringatan Mawlid memiliki kedudukan yang istimewa dihati komunitas Muslim Indonesia. Dia adalah satu satunya Peringatan Hari Besar Islam yang diselenggarakan di Istana Negara. Adalah Presiden Pertama Republik ini yang berwasiat kepada siapapun yang menjadi penggantinya agar selalu menyelenggarakan peringatan Hari Lahirnya Nabi Muhammad SAW. di Istana Kepresidenan.
Endnote :
1. Disampaikan dalam acara Dies Natalis IAIN ke 32 oleh DR.Thoha Hamim, Wakil Ketua Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
2. Hasan al Sandubi, Tarikh al-Ihtifal bi al-Mawlid al-Nabawi (Kairo:Mathba’ah al-Istiqamah, 1948), 64-65.
3. Lihat al-Suyuthi, Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid (Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1985), 45-61.
4. Annemarie Schimmel, And Muhammad is His Messenger (Chapel Hil Nort Caroline: Press, 19854). 149
5. Lihat Ibn Khallikan, Biographical Dictionary, Vol 2 (ter.) Bn. Mc.Guckin de Slane (Paris: Printed for the Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.1842-1871). 539.
6. Lihat artikel artikel yang dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah dan Aula. Tim PP Majlis Tarjih “Peringatan Mawlid Nabi” Suara Muhammadiyah (Juli 1993). 21: Zulfahmi. “Mawlud ke1466″ Suara Muhammadiyah (September 1993), 28-29. Sahal Mahfudh. “Nabi Sendiri Sudah Mengisaratkan Perlunya Peringatan Maulid”. Aula (Oktober 1990) 67-68. “Maulud Nabi Alih Semangat Zaman Ini”, Aula (Oktober 1990). Juga lihat NJG Kaptein. Muhammad’s Birthday Festival (Leiden. EJ Brill 1993) 45. footnote no.1.
7. Lihat Muhammad Ibn ‘Umar al-Bantani, Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud (Semarang, Matba’at Taha Putra,t.t.).
8. Howard M. Fiderspiel, The Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Modern Indonesia Project, 1970) 57.
9. Untuk mengetahui pendapat kelompok penolak tentang Mawlid, lihat pendapatnya A. Hasan, tokoh utama Persis Bangil dan Moenawar Chalil, ketua Majlis Utama Persis dan nggota Majlis Tarjih Pusat Muhammadiyah. Fiderspiel, The Persatuan Islam, 57 : Moenawar Chalil “Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan” Pembela Islam no.65.
10. J.W. Fiegenbaum, “The Ta’ziah : A. Popular Expression of Sh’i Thought” (Montreal : MA thesis. Mc.Gill University, 1965) 123.
11. Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Vol.2 (Beirut : Dar al-Fikr 1983), 258 : al-Ahadith al-Qudsiyah (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1990) 255-272.
12. AJ. Wensinck “Shafa’a” Encyclopedia of Islam Vol.7 (ed) M. Th. Houtsma et. Al. (Leiden : EJ. Brill 1987) 251.
13. Muslim, Shahih Muslim Vol.1 (Beirut : Mu’assasat ‘Izz al-Din 1987) 230-232, 233-235, 237-239: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Vol.13 (Beirut : Dar al-Ma’rifah 19?) 392-393.
14. Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidat al-Burdah (Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah 1947) 22-23.
15. Dari pemberian burdah tersebut, maka qasidah pujian yang digubah oleh Ka’ab dikenal dengan nama Qasidat al-Burdah. Zaki Mubarak. al-Mada’ih al-Nabawiyah (Beirut: Dar al-Jil 1992) 11-12.
16. Al-Qur’an , 33:43, 33:56.
17. Al-Bajuri, Hashiyat al-Bajuri, 26.
18. Chalil, “Fatwa Oelama” 22.
19. Mubarak. al-Mada’ih al-Nabawiyah, 177.
20. Von Grunebaum, Muhammadan’s Festivals, 77.
21. Chalil, “Fatwa Oelama”, 20; Ibn al-Hajj, al-Madkhal Vol.2 (Kairo, al-Matba’ah al-Misriyah bi al-Azhar , 1929) 11-13.
22. Muhammad Umar Memon, Ibn Taymiya’s Struggle againts Popular Religion with an Annotated Translation of His Kitab Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim Mukhalafat Ashab al-Jahim (The Haque: Mouton, 1976) 6.
23. Chalil, “Fatwa Oelama”, 21.
24. Ibn al-Hajj, al-Madkhal vo.2, 15.
25. Al-Suyuti, Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid, 45-51.
26. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1992) 177-181.
27. Moenawar Chalil, “Hadith-Hadith Mauludan”, Abadi (29 Pebruari 1953).
28. Moenawar Chalil, “Ratjoen Jang Berbahaja Bagi Oemmat Islam”, Pembela Islam no.54, 25.
29. Kitab Palsu Dalam Hadith Kuning”, Aula (Pebruari 1994), 13.
30. Lihat ‘Abd. al-Wahhab al-Sha’rani, al-Minah al-Saniyah ‘ala al-Wasiyah al-Matbuliyah (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah,t.t).
31. Kitab Palsu dalam Hadith Kuning, 13.
32. Bunyi teks hadith dimaksud adalah ” Barang siapa berdusta kepadaku dengan sengaja, maka dia tentulah akan ditempatkan di Neraka”. Abu Abd Allah Ibn Adi, Al-Kamil fi Du’afa’ al-Rijal (Bagdad: Matba’at Salman al-’Azami,t.t) 18, footnote 4.
33. Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki, Baqah ‘Atirah min Siyagh al-Mawalid wa al-Mada’ih al- Nabawiyah al-Karimah (t.t.; t.t.: 1983),6.
34. Ibn al-Hajj, al-Madkhal, Vol.2,3.
35. Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol.2 (Beirut : Dar al-Kutub al-’Ilmiyah 1988) 142; Ibn Rajab, Kitab Lata’if al-Ma’arif lima li al-Mawasim al-’Amm min al-Waza’if (Beirut : Dar al-Jil 1975) 93.
36. Muhammad ‘Abduh “al-Ittiba’ wa al-Taqlid” dalam al-Imam, Muhammad Abduh (ed) Adunis dan Khalidah Sa’id (Kairo : Dar al-Ilmi li al-Malayin 1983) 61.
37. Judaningrat, “Sambutan Ketua” Risalah Sekaten I (Nopember, 1954).
38. Soedjono Tirtokoesoemo. The Gerebegs in the Sultanaat Jogjakarta. (ter), FD. Hansen Raae (t.t. : Nadruk Verboden, t.t.), 16
.
Sumber: http://www.sunnah.org/ibadaat/tradisi_mawlid.htm
Selengkapnya...

Senin, 11 Mei 2009

cahaya cinta

cahaya matahari memancarkan keabadiannya
cahaya bulan memancarkan keindahannya
cahaya bintang memncarkan gemerlapnya
namun semua cahaya itu sekan sirna
saat aku melihat dirimu

dirimu yang selalu kau basahi dengan air wudhu
dirimu yang selalu kau tundukkan di hadapan Allah

saat aku melihat dirimu
wajah ini
hati ini
tertuduk malu pada dirimu
karena cahaya yang ada pada dirimu

ingin sekali aku memiliki dirimu
namun apalah daya ku
aku hanya seorang yang bodoh dan
yang memang tak pantas dengan dirimu

aku hanya mempunyai satu cahaya untukmu
yaitu cahaya cinta dari dalam hatiku Selengkapnya...

Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir batin anatra seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasrkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebgai suami istri dilakukan dengan upacara ijab qbul dengan diskasikan orang-orang lain. Tujuan dari sebuah perkawinan ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, sejahtra lahir dan batin, penuh kasih sayang dan rasa cinta mencintai antara suami istri dan anak-anaknya. Itulah yang dikehendaki oleh kedua insan yang hendak membentuk sebuah keluarga yang dinamakan dengan perkawinan.
Perkawinan yang benar adalah perkawinan yang bertujuan untuk menegakkan rumah tangga, buku untuk mencari kepuasan nafsu birahi atau untuk mendapatkan tahta dan harta.
Kehidupan rumah tangga akan terasa bahgia, sejahtra bvaik lahir maupun baitn, jikalau antara pihak suami dan istri adanya saling pengertiuan satu sama lain, mengerti posisi masing-masing yang di mana kewajiban sebgai suami dan apa yang pula yang menjadi kewajiban sorang istri dan apa pula hak-haknya seorang suami, yang kesemuanya itu tidak lain adalah untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.

E. PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERKAWINAN ADAT SUKU JAWA DI DESA PANCA JAYA KECAMATAN MUARA KAMAN.
Sebelum dan sebuah prosesi perkawinan terdapat beberapa antara adat yang dilakukan oleh suku jawa di Kecamatan Muara Kaman : di antaranya sebelum melakukan hajatn perkawinan, kegiatan yang mereka lakukan ialah:
1. Lamaran
2. penentuan hari baik
3. slamatan
4. ziarah
penjelasan :
1. Lamaran : nilai yang dapat diambil dari proses lamaran ialah melambangkan adanya kesungguhan dari pihak pria untuk menjadikan nakanya tersebut (mempelai wanita) sebagia calon istrinya adan menandakan bahwa wanita tersebut telah dilamar orang.
2. Penentuan hari baik : Untuk menentukan hari baik itu biasanya dilaksankan berdasrkan neton masing-masing mempelai yang mana hasil hitungan dari kedua calon mempelai tersebut kemudian dihubungkan dengan pal Nabi, itu tidak lain merupakan suatu upaya dari masyarakat tersebut untuk menentukan hari yang baik untuk melakukan uipacara perkawinan nantinya, walaupun bagi mereka hal ini bukan sesuatu yang wajib yang mana apabila ketentuannya seperti make harus dituruti tetapi tidak, sifanya boleh-boleh saja dituruti maupun ditinggalkan.
3. Slametan : sebagai ungkapan terima kasih kita kepda para undangan yang datang maka kita menyediakan berbagai macam makan untuk para undangan. Nabi juga pernah bersabda “Muliakanlah tamu-tamu yang datang kerumahmu” menjamu tamu dengan menghidangkan makanan buat mereka m,erupakn bentuk dari cara-cara memulikan tamu.
4. Ziarah : ini merupakan simbol bagi yang hidup agar selalu ingat dengan jasa-jasa yang telah mendahului kita semua. Sebgaimana Nabi bersabda “ Sebutkanlah Akan kebiakan amal-amal baik mayit di antar kamu-kamu”.
Prosesi saat perkawinan
1. Ijab qabul
2. Prosesi tamu pengantin :
a. Sawun beras kuning
b. Menginjak telur
c. Dahar kambul
Penjelasan
1. Ijab qabul : menandakan perpindahan kekausaan seorang wanita dari tangan walinya ke pihak pengantin pria.
2. Prosesi tamu pengantin :
a. Sawun beras kuning : ini merupakn suatu simbol bahwasanya perkawinan mereka sudah disetujui oleh masyarakat setempat.
b. Nginjak telur : ini merupakan suatu simbol bahwa dalam proses perkawinan tersebut pihak mempelai pria mempunyai tekad yang bulat, pantang mundur, maju terus untuk meraih kebahgiaan.
c. Dahar kambul : ini menunjukan bahwa dalam membangun sebuah rumah tangga diperlukan adanya sikap saling cintai mencintai, kasih mengasihi seperti tindakan yang dilakukan di sini yaitu suami istri saling suap menyuapi makanan ke dalam mulut pasngannya.
Proses Sesudah Perkawinan
Yaitu mengadakan sepasaran dan ngaduk manten maksudnya selamtan yang dilaksanakan lima hari setelah perkawinan.
Tujuan dari diadakanya ngandah manten adalah bahwa setelah sehingga sepasang penganten tersebut berda di rumah mempelai wanita maka setelah diadakanya ngaduh manten baru pihak mempelai wanita pergi ke rumah mempelai pria.
Selengkapnya...

KEDUDUKAN ADAT DALAM ISLAM

KEDUDUKAN ADAT DALAM HUKUM ISLAM
Perkembangan suatu hukum berkaitan dengan masyarakat, sebab lahirnya dasar pertma hukum Islam adalah dengan hanya berkumpulnya lebih dari satu orang di satu lingkungan di mana antar individu dari ini terjadi hubungan ikatan yang membutuhkan pengaturan.
Lahirnya dasar peraturan ini adalah akibat dari hasil pemikiran manusia dalam mewyjudkan penyelesaian perselisihan-perselisihan pertma yang terjadi dalam masyarakat tersebut dengan penyelesaian yang merealisasikan keadaan dan membantu terwujudnya ketentraman dan keteraturan. Jika perselisihan ini berulang lagi setelah, maka mengharuskan untuk mengikuti apa yang telah dibuat untuknya tentang penyelesaian yang disetujiu. Di mana mengikuti penyelesaian ini pada mulanya diserahkan kepada orang-orang yang mempunyai peranan di dalam masyarakat tersebut karena memperhatikan keistimewaan-keistimewaan yang mereka miliki, hingga dimasyarakat tersebut muncul keyakinan adat akan keharusan megikutinys, sehingga ia sudah menjadi kaidah hukum yang meralisasikan dalam masyarakat.
Dengan demikian, adat merupakan sumber hukum pertama dalam sejarah kemanusian, sebab adat merupakan sumber inspirasi dalam masyarakat.
Adpaun yang berkaitan dengan syari’at Islam, meskipun berkurangnya otoritas tradisi yang dahulunya berlaku pada masa jahiliyah dengan tegaknya nash syari’ah sebagai sumber hukum resmi bagi hukum Islam, maka adat dalam pandangan fiqih Islam masih dinilai sengai sumber penting di dalamnya, hingga sebgain ulama mangatakan sesungguhnya adat adlah dalildasar yang dijadiikan Allah sebagai landasan hukum dan menghubungkan halal dan haram.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa diantara dalil syar’i dalam Islam terdapat yang menilai tradisi sebagai sumber pelengkapa bagi nash-nash syari’ah sebbgaimana dalam firman Allah Q.S. al-A’raf ayat 199


Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang berbuat yang ma’ruf”.
Kata ma’ruf dalam ayat di atas berkaitan dengan makna bahasa yaitu sesuatu yang baik. Hanya saja demikian itu tidak jauh berbeda antara makna tradisi dan dalam fiqih, yaitu tradisi individu-individu masyarakat dalam pekerjaaan muamalah mereka. Sebab apa yang dikenal kepadanya sehingga merupakan hal-hal yang diunggap baik secara syar’i. Dalam hal ini sebagian ulama menebutkan dalil dari hadits Nabi yang artinya sebagai berikut :
“Apa yang baik oleh kaum muslimin, maka dia dipandang baik oleh Allah”.
Selengkapnya...