Kamis, 21 Juli 2011

TERORISME; Alat Politik Amerika Serikat

TERORISME; Alat Politik Amerika Serikat

Afganistan sudah porak-poranda. Namun, Amerika terus melancarkan teror dengan mengatasnamakan anti terorisme. Sampai-sampai kaum muslim yang hendak menunaikan ibadah haji pun menjadi sasaran. Rombongan jamaah haji Pakistan yang akan terbang digeledah (di-sweeping) disertai ancaman oleh tim gabungan dari Biro Investigasi Federal (FBI) AS dan Dinas Investigasi Federal (FIA) Pakistan (Republika, 27/01/02). Sebelumnya, puluhan orang yang diduga bagian al-Qaidah dan milisi Taliban dibawa ke Teluk Guantanamo, Kuba. Disana mereka ditempatkan di ruang terbuka beratapkan seng dengan mata ditutup. Hal ini menurut jurubicara Dewan Keamanan Nasional AS, Sean McCormick, mereka bukanlah tawanan perang menurut Konvensi Jenewa. Bahkan, Wapres AS Dick Cheney menyatakan bahwa mereka adalah tawanan yang merupakan ‘orang-orang jahat’ yang tidak berhak digolongkan sebagai tawanan perang menurut Konvensi Jenewa (Republika, 28/01/02). Senin dini hari (28/01), pasukan elite AS dan pasukan Afganistan dengan bersenjatakan M-16, para penembak jitu dan diperlengkapi helikopter menyerang kawasan rumah sakit Mir Wais, Kandahar (Republika, 29/01/02).
Di luar negeri, AS terus menjalin kekuatan dan tekanan. Sehari setelah runtuhnya WTC setiap negara ditawari apakah berpihak kepada AS atau sebaliknya. Bila tidak berpihak kepada AS berarti ada di pihak teroris yang berhak mendapatkan serangan tongkat (stick). Amerika juga berhasil mendesak PBB mengeluarkan Resolusi 1373 sehingga Dewan Keamanan PBB memerintahkan agar semua anggota PBB menelusuri dan melaporkan keberadaan aset-aset terorisme. Resolusi ini pula melampirkan daftar nama kelompok yang dicurigai sebagai jaringan teroris. Dan, tentu saja, kelompok Islam. Indonesia sendiri telah melaporkan apa yang diminta pada Jum’at, 21 Desember 2001. Tak berhenti di sana. Aliansi pun terus dijalin. Contoh yang mudah adalah Filipina. Dengan alasan untuk menumpas pasukan Islam di Filipina Selatan, kini pasukan AS bercokol di sana. Indonesia, aku Menlu Hassan Wirayuda, mendapatkan banyak tawaran kerja sama dan bantuan dari AS untuk mengatasi terorisme. Pemerintah sendiri, lanjutnya, sedang menjajaki bentuk kerjasama tersebut (Republika, 29/01/02). Artinya, kerjasamanya sudah ya, tinggal bentuknya saja. Bahkan, jauh sebelum itu, Kepala Polda Jawa Timur Irjen Pol Sutanto di Pasuruan menyatakan anggota Satuan Brigade Mobil Daerah (Brimobda) Jawa Timur telah mengikuti latihan anti teroris di Amerika Serikat (Antara, 14/11/2001).
Teranglah, upaya memerangi ‘terorisme’ pimpinan Amerika itu mencurahkan segenap kekuatan. Persoalannya adalah benarkah apa yang dilakukannya itu untuk membasmi terorisme?

Terorisme: Alat Politik AS
Terorisme, yang dalam bahasa Arabnya al irhâb, adalah mashdar yang merupakan musytaq (derivat/pecahan kata) dari fi’il arhaba, yang berarti ‘menciptakan ketakutan’ (akhâfa) atau ‘membuat kengerian/kegentaran’ (fazza’a). Makna bahasa ini dipakai di dalam al Quran: “….(yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian …” (TQS. Al Anfâl [8]: 60).
Tetapi, makna bahasa tersebut telah dialihkan kepada makna terminologis (istilah) yang baru. Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah seminar yang diadakan untuk membahas makna terorisme pada tahun 1979 telah menyepakati bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis.
Setelah itu banyak diselenggarakan konferensi dan seminar internasional serta ditetapkanlah berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme. Namun, siapapun yang mengelaborasi berbagai undang-undang dan hukum tentang terorisme akan memahami dengan terang bahwa semua peraturan itu tunduk kepada orientasi politik negara-negara yang membuatnya. Sekedar contoh saja, Amerika menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak disebut terorisme. Pada tahun 1997, awalnya AS mencap pemboman gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma sebagai aksi teroris, namun setelah diketahui bahwa pelakunya adalah orang Amerika sendiri, Timothy Mc Veigh, pemboman yang semula dianggap terorisme itu sebagai aksi kriminal biasa. Ketika pejuang HAMAS melakukan bom syahid melawan kebrutalan tentara Israel, AS menamainya sebagai aksi terorisme. Sedangkan, ulah dan pembantaian para serdadu Israel yang memporak¬porandakan kalangan sipil disebutnya sebagai pembelaan hak. Peruntuhan gedung WTC—yang hingga detik ini belum terbukti siapa pelakunya—disebut sebagai terorisme (jangan-jangan nanti terbukti temannya Timothy tersebut), sementara tindakan AS yang menghancur¬leburkan Afganistan beserta 7.5 juta penduduknya dinamakannya sebagai penegakkan keadilan tanpa akhir (enduring justice). Itulah arti terorisme yang mereka definisikan.
Sejarah menunjukkan bahwa Amerika memanfaatkan peristiwa peledakan WTC dan Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma pada tahun 1997 (yang belakangan diketahui bahwa pelakunya adalah orang Amerika sendiri) dengan mengeluarkan Undang-Undang Perlawanan terhadap Terorisme yang disetujui Senat AS. Namun, pelaksanaannya tidak mendapat banyak respons dari negara-negara di dunia. Berikutnya, melalui momentum peledakkan gedung WTC tanggal 11 September 2001, AS pun segera menyeru seluruh negara di dunia untuk membentuk undang-undang melawan terorisme di masing-masing negara. Berbeda dengan tahun 1997, hampir seluruh dunia kini berada di belakang AS. Lagi-lagi, pada tahun 1997 yang dituduh adalah orang Islam (yang ternyata bukan). Kini, yang dituduh juga orang Islam, dan tanpa bukti negeri muslim Afganistan dihancurkan. Melihat realitasnya, seruan anti terorisme tersebut ditujukan kepada umat Islam yang ingin menerapkan Islam.
Pada sisi lain, bila dikaitkan dengan strategi dasar Amerika, jelas bahwa sebenarnya isu terorisme hanyalah merupakan alat politiknya untuk melanggengkannya sebagai negara adikuasa. Di dalam “Rencana Strategis AS dalam Hubungan Internasional” yang dikeluarkan Februari 1999 disebutkan bahwa tujuan kepemimpinan internasional AS adalah menciptakan kemakmuran yang lebih aman dan dunia yang demokratis demi keuntungan bangsa Amerika. Sementara, masih menurut dokumen tersebut, untuk mencapai hal itu AS memerlukan kehadirannya di pentas internasional secara kuat, kualifikasi dan motivasi yang tinggi, diversifikasi orang dalam mengurusi dalam dan luar negeri, menjalin komunikasi yang intensif dengan publik baik dalam maupun luar negeri, serta instrumen-instrumen politik, militer, dan ekonomi untuk meraih kebijakan-kebijakan luar negeri bangsa AS (Lihat United States Strategic Plan For International Affairs. Dirilis oleh Office of Resources, Plans, and Policy, U. S. Departement of State, Washington, DC, February 1999).
Arah semua ini adalah mengembangkan ideologi kapitalisme yang dianutnya, disamping mencapai kepentingan nasionalnya. Dalam Rencana Strategi AS (2000) dinyatakan bahwa demokrasi dan HAM (sebagai ide pokok kapitalisme) merupakan komponen pusat dari kebijakan luar negeri AS. Disamping itu, diterakan dalam rencana strategis tersebut bahwa AS dalam mendorong demokrasi tidak hanya mempro¬mosikan nilai-nilai dasar AS seperti kebebasan beragama dan hak-hak buruh, melainkan juga menciptakan sarana global yang lebih aman, stabil, makmur hingga AS dapat meningkatkan kepentingan-kepentingan nasionalnya (U.S. Departement of State Strategic Plan (2000). Dirilis oleh Office of Management Policy and Planning U.S. Departement of State, 25 Oktober 2000). Salah satu implementasi dari keadaan yang lebih aman dan stabil tadi adalah isu terorisme.
Adapun sasaran sentralnya adalah Islam. Sebab, menurut mereka, Islam merupakan kunci dari kebijakan luar negeri AS (Saleem Kidwai, United States and Islam, hal. 2). Karenanya, tidak mengherankan daftar nama kelompok yang dikategorikan AS sebagai teroris mayoritas Islam. Karena itu pula negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme. Salah satu wujudnya berupa tekanan untuk membentuk undang-undang anti terorisme. Di Indonesia, kini masih berupa RUU. Tujuannya adalah untuk mengokohkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam serta melestarikannya agar tetap berada dibawah hegemoni AS. Sebab, kaum muslim di negeri-negeri Islam tersebut sedang merintis menerapkan syariat Islam untuk menyelamatkannya dari kehancuran akibat kapitalisme. Bukan hanya di satu atau dua negeri saja melainkan di seluruh dunia dalam bentuk kekhilafahan. Padahal, AS dan negara-negara kafir sekutunya mengerti betul bahwa khilafah itulah satu-satunya negara yang berkemampuan untuk meluluhlantahkan keadikuasaan kapitalisme pimpinan Amerika. Berdasarkan hal tersebut, tidak mengherankan setiap gerakan Islam atau partai-partai Islam dicap teroris. Paling tidak, selalu dicurigai. Sekalipun, mereka tidak melakukan kekerasan dan anti kekerasan.

Hakikat Perjuangan Islam
Nampak bahwa cap terorisme dan undang-undang antiterorisme yang tengah dicanangkan dibidikkan untuk umat Islam, demi kepentingan Amerika. Selain itu, kaum muslim perlu untuk melakukan hal-hal berikut:
Pertama, kaum muslim berkewajiban untuk menjadi representasi Islam dalam segala perbuatan dan tindakannya. Sebab, Islam mempunyai metode khusus untuk merealisasikan berbagai target dan tujuan, yang diantaranya adalah melanjutkan kehidupan Islam dengan tegaknya khilafah. Berpegang teguh kepada metode ini—yang bertumpu pada pertarungan pemikiran (ash shirâ’ul fikriy) dan perjuangan politik (al kifâh as siyâsiy) serta menjauhkan diri dari penggunaan senjata (kekerasan)—hakikatnya adalah berpegang teguh kepada metode syar’iy yang dituntut oleh Islam. Jadi ini bukan karena takut atau melarikan diri dari cap terorisme.
Kedua, kaum muslim wajib menjelaskan bahwa tugas Daulah Islamiyyah setelah tegak adalah terikat dengan hukum syara, baik dalam menjalankan urusan dalam negeri, maupun luar negeri seperti mengemban risalah Islam dengan cara jihad fi sabîlillâh kepada seluruh umat manusia serta memusnahkan penghalang-penghalang fisik yang merintangi penerapan Islam.
Ketiga, kaum muslim wajib menerangkan bahwa penerapan Islam oleh kaum muslim untuk diri mereka sendiri maupun untuk yang beragama lain tidaklah berdasarkan hawa nafsu kaum muslim atau mewujudkan kepentingan individual melainkan sebagai wujud ketaatan kepada Allah Pencipta alam semesta.
Keempat, Cap yang diberikan oleh AS dan negara-negara sekutunya bahwa Islam, atau umat Islam yang memperjuangkan Islam sebagai teroris yang harus dikejar-kejar dengan undang-undang antiteroris sesungguhnya predikat yang tendensius dan tidak pada tempatnya. Predikat tersebut tidak sesuai dengan fakta dan ajaran Islam sendiri. Allah SWT. berfirman:“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (TQS. Al Anbiya: 107)“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslim” (TQS. An Nahl: 89).
Padahal, rahmat tersebut akan terwujud secara sempurna dengan tegaknya hukum Islam.

Khatimah
Nampaklah bahwa umat Islam telah dijerat oleh konspirasi internasional dengan mengatasnamakan isu terorisme. Upaya penerapan hukum Islam yang akan membebaskan seluruh umat manusia (muslim maupun non muslim) dari kezhaliman sedang dicegat dan hendak dimusnahkan.
Untuk itu, semua kaum muslim; para pejabat, anggota MPR/DPR atau rakyat biasa, para ulama, politisi, wartawan, hartawan, budayawan, cendekiawan, mahasiswa, pelajar, buruh, tani, dan nelayan, para sesepuh, bapak-bapak, ibu-ibu, para pemuda, dan remaja, janganlah tertipu oleh tipu daya orang-orang kafir. Kembalilah kepada pangkuan Islam!
Niscaya kemuliaan didapatkan. Dengan Islam kita jaya, dunia maupun akhirat. Insya Allâh!

Selengkapnya...