Rabu, 20 April 2011

MERENUNGKAN KEMBALI MAKNA KEMERDEKAAN

Sudah menjadi tradisi, setiap bulan Agustus masyarakat kita bersuka-cita memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Berbagai kegiatan digelar untuk memeriahkan ulang tahun kemerdekaan tersebut; tak hanya di kota, tetapi juga di pelosok-pelosok desa. Kantor-kantor, jalan-jalan raya, bahkan lorong-lorong perkampungan pun dihiasi dengan berbagai hiasan menarik hingga menambah maraknya peringatan kemerdekaan. Semua itu terkesan seolah-olah masyakat Indonesia memang benar-benar telah merdeka.
Benarkah kita telah merdeka? Jika benar, mengapa masih banyak kebijakan yang sarat dengan pengaruh dan tekanan pihak asing. Dalam kasus penembakan warga AS di Timika belum lama ini, misalnya, Amerika berusaha ikut campur dalam penanganan kasus tersebut. Meskipun sejumlah anggota FBI telah disertakan dalam penyelidikan kasus itu, tetap saja mereka belum puas. Bahkan Amerika berencana akan menghentikan program bantuan militernya jika Indonesia ‘tidak serius’ menangani kasus Timika. Di bidang ekonomi, pengaruh pihak asing juga tak kalah kuatnya. Sebagai contoh, kebijakan pencabutan berbagai subsidi, khususnya BBM, jelas tak lepas dari tekanan pihak asing. Gus Dur, ketika menjabat presiden, pernah mengatakan bahwa kenaikan harga BBM sebenarnya tidak dikehendaki oleh Pemerintah. Namun, karena ada dalam LoI dengan IMF, mau tidak mau, kebijakan tersebut harus diambil. Aset-aset strategis kita pun makin hari makin habis. Dengan adanya program privatisasi, banyak aset-aset strategis akhirnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. PT Dirgantara Indonesia, yang kasus PHK ribuan karyawannya mencuat belum lama ini, juga sudah direncanakan untuk dijual ke perusahaan asing. Jika demikian keadaannya, otoritas apa lagi yang masih dimiliki oleh bangsa ini? Bukankah semuanya telah tergadai pada pihak asing?
Belum lagi jika kita menengok nilai-nilai budaya yang berkembang di tengah masyarakat; yang kita jumpai adalah berkembangnya nilai-nilai budaya Barat. Ironis bukan, negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini justru dibanjiri oleh budaya kafir Barat.

Pandangan Islam Tentang Kemerdekaan
Dalam konteks individu, seseorang dapat dikatakan merdeka manakala ia terbebas dari penyembahan atau ibadah pada sesuatu yang tidak layak disembah. Secara bahasa, ibadah artinya adalah taat. Satu-satunya Zat yang patut ditaati tidak lain adalah Allah Swt. Sebab, Allah-lah Al-Khâliq, Zat yang telah menciptakan manusia dan seluruh alam semesta ini. Allah adalah Pencipta dengan segala kekuasaan-Nya, sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan Allah dengan segala keterbatasannya. Oleh karena itu, wajar jika manusia harus menjalankan ketaatan kepada Allah. Inilah hakikat kemerdekaan dalam konteks individu, yaitu penghambaan manusia secara total pada Zat yang menciptakan dirinya. Allah Swt. berfirman: Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An‘am [6]: 162).
Sebaliknya, tidak wajar jika manusia rela tunduk, patuh, dan taat kepada sesama manusia atau makhluk lain. Padahal, masing-masing memiiki derajat yang sama, yaitu sebagai makhluk. Jika hal ini terjadi, hakikatnya manusia telah menghambakan dirinya kepada sesama makhluk. Itu berarti dia telah menjadi budak, bukan lagi menjadi orang yang merdeka. Bisa jadi, dia menghambakan dirinya kepada sesama manusia, pada hawa nafsunya, atau pada kepentingan dunianya. Allah Swt. berfirman: Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (QS al-Furqan [25]: 43-44).
Dalam konteks masyarakat atau negara, kita bisa mengatakan bahwa sebuah masyakarat atau negara yang merdeka adalah masyarakat atau negara yang pemikiran, perasaan, dan aturan yang ditegakkan di dalamnya adalah aturan Allah semata. Aturan Allah-lah yang dijadikan rujukan sekaligus diterapkan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya, pidana, pertahanan, maupun keamanan. Sebaliknya, jika aturan yang diterapkan dalam masyarakat atau negara adalah aturan manusia atau yang berasal dari ideologi buatan manusia, masyarakat atau negara tersebut hakikatnya masih dalam keadaan terjajah. Jadi, kemerdekaan bagi sebuah negara tidaklah cukup dimaknai sebatas terbebasnya suatu negara dari penjajahan secara fisik atau militer. Makna semacam ini tentu saja sangat sempit. Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiah Li Hizbit Tahrir hlm. 13, mengatakan bahwa penjajahan (al-isti’mar) adalah dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas bangsa yang kalah dalam rangka mengeksploisasinya. Dengan demikian, bangsa Indonesia saat ini belum dapat dikatakan telah merdeka secara hakiki.

Agar Kita Tak Dijajah
Jauhnya umat Islam dari pemahaman-pemahaman Islam telah menjadi jalan mulus bagi negara penjajah untuk menyukseskan program penjajahannya. Sejarah membuktikan, pada saat kaum Muslim masih terjaga dan terpelihara pemahaman Islamnya, negara penjajah Eropa tak mampu menggoyahkan kekuasaan Khilafah Islamiyah. Baru setelah pemahaman Islam kaum Muslim mulai melemah, mereka bisa menyusupkan pemikiran-pemikiran asing seperti paham nasionalisme/kebangsaan. Masuknya pemikiran asing tersebut selanjutnya menjadi jalan mulus bagi negara penjajah untuk memecah-belah wilayah Khilafah Islamiyah. Mulailah negeri kaum Muslim terpecah dan dikuasai bagian demi bagian oleh negara penjajah secara militer.
Pasca Perang Dunia II, bentuk penjajahan secara militer dinilai tidak lagi menguntungkan. Oleh karena itu, dimulailah model penjajahan baru yaitu penjajahan secara politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Lalu negara-negara yang sebelumnya dijajah secara militer diberi kesempatan oleh sang penjajah untuk “merdeka”. Pada periode ini, Amerika-lah yang telah berhasil mengambil banyak peranan. Jadi, meskipun negeri-negeri Muslim tidak lagi dijajah secara militer (kecuali Irak saat ini yang tengah dijajah secara baik secara politik maupun militer), hakikatnya negeri-negeri tersebut tetap dijajah dengan model penjajahan penjajahan baru.
Untuk melapangkan jalan bagi penjajahan model baru tersebut, Amerika terlebih dulu memasukkan ide-ide kufur seperti demokrasi beserta turunannya seperti kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan individu. Ide-ide inilah yang memperlancar langkah-langkah praktis berikutnya. Misalnya, masuknya persahaan-perusahaan asing dengan mudah ke negeri-negeri Muslim untuk menguras kekayaan alamnya terjadi setelah masuknya ide-ide tentang kebebasan kepemilikan. Masuknya produk film-film Barat pun terjadi setelah masuknya ide-ide tentang kebebasan individu. Demikian seterusnya.
Jika demikian keadaannya, bagaimana upaya yang harus dilakukan umat Islam agar dapat melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Dalam kaitan ini, kaum Muslim harus melakukan hal-hal berikut:
1. Membentuk pemikiran ideologis. Artinya, kaum Muslim harus memahami Islam sebagai sebuah ideologi, yang terdiri dari akidah dan syariat, yang berfungsi untuk memecahkan seluruh problematika hidup manusia. Umat harus yakin bahwa Islam merupakan aturan hidup yang sempurna, yang tidak lagi membutuhkan pengurangan atau penambahan dari aturan-aturan lain di luar Islam.
2. Tidak berpikir pragmatis. Artinya, kaum Muslim tidak boleh terjebak oleh kepentingan-kepentingan sesaat atau jangka pendek dalam mengambil sikap dan keputusan. Setiap sikap dan keputusan harus diambil berdasarkan pertimbangan ideologi Islam. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi, penyelesaiannya bukan dengan mengundang IMF, tetapi harus ditelusuri akar permasalahannya, lalu dipecahkan dengan mengacu pada ideologi Islam yang memiliki konsep tersendiri dalam bidang ekonomi.
3. Memiliki kepekaan politis. Hal ini penting agar umat tidak mudah tertipu oleh manuver-manuver politik kaum penjajah berserta kroninya yang ingin melanggengkan penjajahannya. Sebagai contoh, umat harus memahami kampanye yang kumandangkan Amerika tentang “Perang melawan Teroris”. Apa dan siapa yang dimaksud teroris oleh Amerika? Apa target Amerika di balik kampanye tersebut? Demikian seterusnya.
4. Meraih kemuliaannya dengan Islam. Kaum Muslim harus memahami bahwa kemuliaan hidupnya, di dunia dan akhirat, hanya bisa diraih dengan mewujudkan tegaknya aturan Islam. Sebaliknya, kehinaannya di dunia dan akhirat, semata-mata karena mengambil aturan penjajah. Semakin banyak ide-ide kufur yang diadopsi, akan semakin jauh umat terperosok ke dalam jeratan penjajahan.
Wahai Kaum Muslim, yang dimuliakan Allah
Sudah saatnya kita mengakhiri kondisi keterjajahan yang menimpa diri dan negeri kita. Sangat ironis bukan, jika penduduk negeri ini hidup bergelimang dengan kemiskinan, kelaparan, dan banyak pengangguran; padahal kekayaan alamnya melimpah. Kekayaan alam yang melimpah tersebut ternyata tak dapat digunakan untuk mensejahterakan hidup masyakarat, karena telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing dan atau dikelola dengan aturan-aturan penjajah. Sangat ironis pula jika negeri yang di dalamnya banyak orang-orang pintar dan terpelajar ini harus tunduk pada tekanan dan kehendak pihak asing. Hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki pemikiran ideologi Islam.
Walhasil, satu-satunya cara untuk membebaskan umat dari belenggu penjajahan adalah dengan memperjuangkan kembali terwujudnya kehidupan Islam. Hal ini dilakukan dengan melakukan penanaman pemahaman Islam secara ideologis kepada umat. Kesadaran idelogis ini akan berproses mewujudkan kemerdekaan hakiki dalam diri individu-individu Muslim, kemudian akan berproses lebih lanjut membentuk kesadaran kolektif untuk mewujudkan kemerdeaan hakiki dalam bentuk kehidupan Islam.
Selengkapnya...

Banjir: Sebuah Peringatan

Jakarta menjadi kolam raksasa. Bahkan, Medan, Lampung, Jambi, Bandung, Pekalongan, Pasuruan, beberapa daerah di Sulawesi, dan daerah lainnya. Itulah pemandangan yang tampak akhir minggu lalu.
Akibat hujan yang tumpah dari langit selama beberapa hari di kawasan Puncak-Bogor-Jakarta, menyebabkan sungai-sungai besar yang mengepung Jakarta—Krukut, Cisadane, dan Ciliwung—meluap. Kota Metropolitan pun mendulang banjir. Hampir seluruh pelosok Jakarta, tidak terkecuali daerah yang biasanya bebas banjir seperti Pamulang, terkepung air. Bahkan pada akhir minggu lalu banjir sudah mencapai Monas dan merendam halaman istana negara Kepresidenan, baik Istana Merdeka maupun Istana Negara di Jalan Merunda (Kompas, 3/02).
Banjir besar yang melanda Jakarta sejak Jumat hingga Sabtu (1-2 Februari), telah mengakibatkan terjadinya pengungsian besar-besaran warga Jakarta yang pemukimannya terendam banjir. Pusat Pengendalian Ketegangan Sosial (Pusdalgangsos) DKI Jakarta, melaporkan sekitar 114.494 kepala keluarga atau 420.013 jiwa meninggalkan rumah-rumah mereka (Media Indonesia, 3/02). Warga yang mengungsi hanya bisa pasrah berhari-hari di sejumlah tempat penampungan, tenda-tenda darurat, bahkan tidak sedikit yang menanti di emper-emper toko dan di tanah kuburan. Yang lebih menyedihkan, sejumlah rumah terbakar akibat penerangan lilin yang mereka pergunakan pada saat listrik dipadamkan oleh PLN, karena khawatir terjadi korsleting.
Tidak hanya meludeskan pemukiman dan harta, banjir juga merengggut nyawa. Sampai hari Sabtu (2 Februari), korban meninggal akibat banjir di kawasan Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi mencapai 30 jiwa (Warta Kota, 3/02).
Banjir juga melumpuhkan berbagai aktivitas masyarakat. Jalan-jalan yang tenggelam, menyebabkan sejumlah jalur transportasi terputus, lalu lintas macet berjam-jam, dan banyak mobil ditinggalkan begitu saja di tengah jalan karena pengemudinya memilih untuk menyelamatkan diri. Bahkan aktivitas KRL pun terhenti akibat rel-rel terendam air. Keadaan ini secara otomatis melumpuhkan perekonomian daerah-daerah terkena banjir.
Ironinya, pemerintah—baik Pemda DKI Jakarta maupun Pemerintah Pusat—justru terlihat lamban dan tidak cekatan dalam menangani bencana banjir dan para korban. Dengan area bencana banjir yang luas—apalagi untuk ukuran sebuah ibu kota negara, jumlah perahu karet yang tersedia jauh dari memadai. Bantuan pangan dan obat-obatan yang dialirkan pemerintah juga datang terlambat. Bahkan obat-obatan yang dikirim bagi korban nyaris kadaluarsa (Warta Kota, 01/02). Para pejabat sendiri baru menengok korban setelah banjir terjadi 2-3 hari (Warta Kota, 3/02). Wajar bila kemudian Presiden RI Megawati yang berkunjung ke daerah bencana banjir disambut demo puluhan warga yang kesal, frustrasi, dan kelaparan.
Suatu hal yang menambah keprihatinan kita adalah bencana ini terjadi setelah mereka didera kenaikan harga BBM, TDL, tarif telepon, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Namun yang paling mengkhawatirkan, adalah nasib pengungsi pada hari-hari mendatang. Dengan hancurnya tempat tinggal, harta benda, dan aset usaha mereka, ditambah bantuan pemerintah yang lamban dan tidak memadai, gelombang frustrasi akan menerpa masyarakat. Banyak pihak mencemaskan meningkatnya tingkat kriminalitas pasca banjir. Malah ketika banjir masih berkecamuk, sejumlah penodongan terjadi di tengah jalan dengan mengatasnamakan korban banjir (Media Indonesia, 3/02).
Bagi kaum muslim, banjir ini semestinya menjadi sebuah refleksi; Ada apa dibalik banjir ini? Kemudian bagaimana seharusnya pemerintah menangani bencana alam seperti banjir?

Ujian dan Peringatan
Umat Muslim wajib mengimani bahwa setiap musibah yang menimpa mereka adalah ketentuan Allah Swt. FirmanNya: Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal. (QS. at-Tawbah [9]: 51).
Setelah Allah Swt. mengutus Rasulullah saw. maka seluruh musibah yang menimpa manusia bukanlah balasan Allah Yang Mahagagah atas perbuatan maksiat manusia di dunia. Karena dunia bukanlah tempat penghisaban dan pembalasan, melainkan ladang untuk beramal. Bagi mereka yang beriman dan bertakwa, musibah yang menimpa mereka—seperti gempa bumi, tanah longsor, dan banjir—adalah ujian untuk meningkatkan derajat mereka di sisi Allah. Sehingga tatkala seorang mukmin tertimpa musibah ia akan bersabar, menjauhkan diri dari sikap putus asa dan mengembalikan seluruh urusan tersebut kepada Allah Swt.: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji'ûn” (QS. al-Baqarah [2]:155-156).
Selain itu, bagi seluruh umat manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir dan fasik, maka musibah tersebut adalah peringatan bagi manusia agar mereka merenung dan berpikir, sehingga tidak akan terus tenggelam dalam kemaksiatan. Allah Ta'ala berfirman: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yg benar). (QS. ar-Rûm [30]: 41).
Menurut Imam Jalalain dan Imam Ibnu Katsir (bimâ kasabat aydînnâs-->..disebabkan karena perbuatan tangan manusia...) adalah perbuatan-perbuatan maksiat. Artinya, berbagai kerusakan di darat dan di laut yang menimpa manusia adalah akibat kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia sendiri. Maksiat ini ada yang secara langsung merupakan hukum sebab-akibat alami, ada pula yang tidak. Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan bahwa maksud datangnya bencana tersebut tidak lain adalah agar manusia merasakan akibat sebagian ulah mereka—kemaksiatan tersebut, sehingga manusia mau kembali ke jalan Allah Swt. Dalam ayat lain Allah Ta'ala berfirman: Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong selain Allah. (QS. asy-Syûrâ [42]: 30-31).
Memang, curah hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi pada bulan lalu adalah sunnatullah. Siklus lima tahunan yang terjadi akibat kekacauan cuaca regional. Namun bila ditelusuri lebih jauh, air bah dan longsor yang yang meremukkan pemukiman, harta benda, bahkan merenggut nyawa manusia, disebabkan perbuatan umat manusia sendiri. Berbagai pembangunan yang menyalahi tata lingkungan dan konservasi alam marak di sekitar Bopuncur (Bogor-Puncak-Cianjur) hingga Jakarta. Daerah resapan air dirusak. Masalah lingkungan diabaikan. Begitu juga, penebangan liar di hutan-hutan selama tiga tahun terakhir juga memiliki andil terjadinya banjir.
Pembangunan dengan mengabaikan fungsi lingkungan seperti itu, jelas termasuk dlarar. Dan Islam telah mengharamkan segala macam perkara yang membahayakan (dlarar) terhadap umat manusia. Sabda Rasulullah saw.: Tidak berbahaya dan saling membahayakan.
Siapa yang membuat dlarar maka Allah akan memberikan dlarar dengan perbuatannya tersebut, dan siapa yang membuat kesusahan maka Allah akan menyusahkan dirinya.
Yang dimaksud dengan dlarar adalah menghilangkan/menolak manfaat. Dlarar yang menimpa diri sendiri maupun orang lain hukumnya adalah haram. Dengan demikian, melakukan dlarar adalah kemaksiatan. Maka pembangunan vila dan berbagai perumahan mewah di kawasan Puncak yang mengabaikan manfaat/fungsi alam—sebagai kawasan resapan air, atau pembangunan di kawasan rawa-rawa yang berfungsi penampungan air dan secara sunatullah mengakibatkan banjir merupakan tindakan dlarar. Dan itu adalah tindak kemaksiatan.
Lebih-lebih lagi, telah menjadi rahasia umum bahwa banyak perumahan mewah dan vila di kawasan yang sebenarnya telah diketahui memiliki fungsi vital bagi lingkungan, berdiri dengan izin yang berbau kolusi antara penguasa setempat dengan para developer. Di masa Orde Baru misalkan, ada seorang menteri perumahan yang mengobral perizinan untuk membangun pemukiman mewah di kawasan Bogor, Puncak, Cianjur, seluas 150.000 hektar. Padahal luas lahan pembangunan di DKI saja cuma 65.000 hektar (Media Indonesia, 03/02). Sudah melakukan dlarar ditambah lagi KKN. Inilah suatu bentuk kemaksiatan yang secara sebab-akibat alami mengakibatkan banjir.
Adapun kemaksiatan yang tidak secara langsung mengakibatkan banjir adalah meninggalkan penerapan hukum-hukum Allah Pencipta semesta alam. Termasuk didalamnya berbagai macam kemungkaran semisal prostitusi, perjudian, maraknya riba, kaum wanita yang tidak menutup aurat, menerapkan demokrasi, pluralisme, berwali kepada kaum kafir dan menjauhkan umat dari Islam. Hal ini menyebabkan tidak adanya berkah baik dari langit maupun bumi. Sebab, berkah itu hanya diberikan kepada bangsa yang beriman dan bertakwa. Allah swt. memberitahu kita: Andai saja, penduduk negeri beriman dan bertakwa pasti Kami akan bukakan berkah-berkah atas mereka dari langit dan bumi. (QS. al-A'râf [7]: 96).
Dengan demikian bencana banjir yang menimpa sebagian masyarakat merupakan tadzkirah, peringatan bagi umat manusia, akibat kemaksiatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat atau semua elemen masyarakat. Allah swt. menegaskan :
Dan takutlah akan fitnah (malapetaka) yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim diantara kalian saja. (QS. al-Anfâl [8]: 25).

Peran Negara dan Sesama Muslim
Islam memerintahkan negara untuk mengurusi urusan rakyat. Karenanya, negara (daulah) yang menerapkan hukum Islam secara tegas akan melarang berbagai tindakan dlarar yang dapat merusak keseimbangan lingkungan. Bahkan Daulah Islamiyah akan menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang melakukan tindakan destruktif; penebangan liar, mendirikan bangunan di atas Daerah Resapan Air (DRA), membuang limbah yang beracun dan berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan, dsb. Daulah juga akan memberikan sanksi bagi para aparat pemerintah yang memberi izin bagi pembangunan di daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Apalagi jika izin tersebut dikeluarkan melalui praktik-praktik KKN. Adapun jika bangunan tersebut telah berdiri maka daulah akan membongkarnya, karena daulah berkewajiban menjaga kemaslahatan umat.
Jika terjadi bencana alam menimpa masyarakat, seperti banjir, negaralah yang pertama kali harus turun tangan memberikan bantuan dan pertolongan bagi rakyat. Ini adalah bagian dari tugas dan peran negara dalam ri'âyah asy-syu'un al ummah. Negara tidak boleh mengandalkan apalagi melimpahkannya kepada pihak masyarakat, tanpa terlebih dahulu berusaha melakukan kewajiban tersebut secara maksimal. Fakta bencana banjir yang terjadi memperlihatkan bahwa pemerintah—daerah maupun pusat—tidak melakukan penanganan tugas tersebut secara maksimal. Mereka lamban dan tidak cekatan. Ketika BMG jauh-jauh hari memberitahu akan terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi pada tahun 2002, pemerintah tidak mengantisipasinya dengan baik. Membangun kanal penahan banjir ataupun perlengkapan search and rescue yang memadai. Bahkan bantuan makanan, obat-obatan serta kebutuhan sehari-hari sudahlah datang terlambat, juga tidak mencukupi.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara juga telah menyiapkan pos pembelanjaan bagi korban bencana alam di bayt al-mal. Pendapatan pos korban bencana alam itu dapat diperoleh dari kharaj, ghanimah, fa'i, shadaqah, harta orang meninggal yang tidak memiliki ahli waris, harta orang murtad, dan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan kepemilikan umum. Dengan memperhitungkan seluruh sumber pendapatan tadi, maka daulah akan mampu menangani korban bencana alam. Seandainya anggaran untuk korban bencana alam itu tidak mencukupi, maka negara diperbolehkan untuk memungut pajak dari kaum muslim yang memiliki harta berlebih. Selain itu, prioritas dana ditujukan bagi kepentingan masyarakat. Prioritas bukan untuk pakaian para pejabat, mendanai pesta olahraga, membangun berbagai patung peringatan, atau hanya sekedar mempercantik kota.
Meski tanggung jawab itu sepenuhnya berada di tangan negara, namun Islam juga mendorong setiap individu untuk memberikan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang melapangkan suatu kesukaran dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan baginya kesukaran di hari Kiamat. (HR. Bukhari Muslim).
Berjalannya seseorang di antara kalian untuk memenuhi kebutuhan saudaranya sampai terpenuhi, lebih baik baginya daripada i'tikaf di masjidku selama sepuluh tahun.

Wahai kaum Muslim!
Marilah kita membantu sesama saudara kita yang tengah terkena musibah banjir!
Marilah kita renungkan bahwa sesungguhnya banjir ini adalah peringatan dari Allah atas berbagai tindak kemungkaran yang dilakukan manusia sendiri; apakah umat ini akan terus bersikap mencampakkan hukum-hukum Allah dan terang-terangan melakukan kemaksiatan, ataukah kembali kepada hukum-hukum Allah yang menjanjikan keberkahan dan kebaikan dari-Nya? Ataukah umat ini akan terus menutup mata dan berpura-pura atas seluruh kemungkaran yang berlangsung di tengah-tengah mereka?

Wahai kaum Muslim!
Itulah realitas para penguasa yang tidak berhukum pada hukum Islam! Kembalilah kepada orang-orang yang ikhlas dan siap menegakkan aturan-aturan Islam! Yakinlah, kemuliaan hanya ada pada Allah, Rasul, dan kaum beriman. Allahu Akbar!
Selengkapnya...