Rabu, 20 April 2011

Banjir: Sebuah Peringatan

Jakarta menjadi kolam raksasa. Bahkan, Medan, Lampung, Jambi, Bandung, Pekalongan, Pasuruan, beberapa daerah di Sulawesi, dan daerah lainnya. Itulah pemandangan yang tampak akhir minggu lalu.
Akibat hujan yang tumpah dari langit selama beberapa hari di kawasan Puncak-Bogor-Jakarta, menyebabkan sungai-sungai besar yang mengepung Jakarta—Krukut, Cisadane, dan Ciliwung—meluap. Kota Metropolitan pun mendulang banjir. Hampir seluruh pelosok Jakarta, tidak terkecuali daerah yang biasanya bebas banjir seperti Pamulang, terkepung air. Bahkan pada akhir minggu lalu banjir sudah mencapai Monas dan merendam halaman istana negara Kepresidenan, baik Istana Merdeka maupun Istana Negara di Jalan Merunda (Kompas, 3/02).
Banjir besar yang melanda Jakarta sejak Jumat hingga Sabtu (1-2 Februari), telah mengakibatkan terjadinya pengungsian besar-besaran warga Jakarta yang pemukimannya terendam banjir. Pusat Pengendalian Ketegangan Sosial (Pusdalgangsos) DKI Jakarta, melaporkan sekitar 114.494 kepala keluarga atau 420.013 jiwa meninggalkan rumah-rumah mereka (Media Indonesia, 3/02). Warga yang mengungsi hanya bisa pasrah berhari-hari di sejumlah tempat penampungan, tenda-tenda darurat, bahkan tidak sedikit yang menanti di emper-emper toko dan di tanah kuburan. Yang lebih menyedihkan, sejumlah rumah terbakar akibat penerangan lilin yang mereka pergunakan pada saat listrik dipadamkan oleh PLN, karena khawatir terjadi korsleting.
Tidak hanya meludeskan pemukiman dan harta, banjir juga merengggut nyawa. Sampai hari Sabtu (2 Februari), korban meninggal akibat banjir di kawasan Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi mencapai 30 jiwa (Warta Kota, 3/02).
Banjir juga melumpuhkan berbagai aktivitas masyarakat. Jalan-jalan yang tenggelam, menyebabkan sejumlah jalur transportasi terputus, lalu lintas macet berjam-jam, dan banyak mobil ditinggalkan begitu saja di tengah jalan karena pengemudinya memilih untuk menyelamatkan diri. Bahkan aktivitas KRL pun terhenti akibat rel-rel terendam air. Keadaan ini secara otomatis melumpuhkan perekonomian daerah-daerah terkena banjir.
Ironinya, pemerintah—baik Pemda DKI Jakarta maupun Pemerintah Pusat—justru terlihat lamban dan tidak cekatan dalam menangani bencana banjir dan para korban. Dengan area bencana banjir yang luas—apalagi untuk ukuran sebuah ibu kota negara, jumlah perahu karet yang tersedia jauh dari memadai. Bantuan pangan dan obat-obatan yang dialirkan pemerintah juga datang terlambat. Bahkan obat-obatan yang dikirim bagi korban nyaris kadaluarsa (Warta Kota, 01/02). Para pejabat sendiri baru menengok korban setelah banjir terjadi 2-3 hari (Warta Kota, 3/02). Wajar bila kemudian Presiden RI Megawati yang berkunjung ke daerah bencana banjir disambut demo puluhan warga yang kesal, frustrasi, dan kelaparan.
Suatu hal yang menambah keprihatinan kita adalah bencana ini terjadi setelah mereka didera kenaikan harga BBM, TDL, tarif telepon, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Namun yang paling mengkhawatirkan, adalah nasib pengungsi pada hari-hari mendatang. Dengan hancurnya tempat tinggal, harta benda, dan aset usaha mereka, ditambah bantuan pemerintah yang lamban dan tidak memadai, gelombang frustrasi akan menerpa masyarakat. Banyak pihak mencemaskan meningkatnya tingkat kriminalitas pasca banjir. Malah ketika banjir masih berkecamuk, sejumlah penodongan terjadi di tengah jalan dengan mengatasnamakan korban banjir (Media Indonesia, 3/02).
Bagi kaum muslim, banjir ini semestinya menjadi sebuah refleksi; Ada apa dibalik banjir ini? Kemudian bagaimana seharusnya pemerintah menangani bencana alam seperti banjir?

Ujian dan Peringatan
Umat Muslim wajib mengimani bahwa setiap musibah yang menimpa mereka adalah ketentuan Allah Swt. FirmanNya: Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal. (QS. at-Tawbah [9]: 51).
Setelah Allah Swt. mengutus Rasulullah saw. maka seluruh musibah yang menimpa manusia bukanlah balasan Allah Yang Mahagagah atas perbuatan maksiat manusia di dunia. Karena dunia bukanlah tempat penghisaban dan pembalasan, melainkan ladang untuk beramal. Bagi mereka yang beriman dan bertakwa, musibah yang menimpa mereka—seperti gempa bumi, tanah longsor, dan banjir—adalah ujian untuk meningkatkan derajat mereka di sisi Allah. Sehingga tatkala seorang mukmin tertimpa musibah ia akan bersabar, menjauhkan diri dari sikap putus asa dan mengembalikan seluruh urusan tersebut kepada Allah Swt.: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji'ûn” (QS. al-Baqarah [2]:155-156).
Selain itu, bagi seluruh umat manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir dan fasik, maka musibah tersebut adalah peringatan bagi manusia agar mereka merenung dan berpikir, sehingga tidak akan terus tenggelam dalam kemaksiatan. Allah Ta'ala berfirman: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yg benar). (QS. ar-Rûm [30]: 41).
Menurut Imam Jalalain dan Imam Ibnu Katsir (bimâ kasabat aydînnâs-->..disebabkan karena perbuatan tangan manusia...) adalah perbuatan-perbuatan maksiat. Artinya, berbagai kerusakan di darat dan di laut yang menimpa manusia adalah akibat kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia sendiri. Maksiat ini ada yang secara langsung merupakan hukum sebab-akibat alami, ada pula yang tidak. Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan bahwa maksud datangnya bencana tersebut tidak lain adalah agar manusia merasakan akibat sebagian ulah mereka—kemaksiatan tersebut, sehingga manusia mau kembali ke jalan Allah Swt. Dalam ayat lain Allah Ta'ala berfirman: Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong selain Allah. (QS. asy-Syûrâ [42]: 30-31).
Memang, curah hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi pada bulan lalu adalah sunnatullah. Siklus lima tahunan yang terjadi akibat kekacauan cuaca regional. Namun bila ditelusuri lebih jauh, air bah dan longsor yang yang meremukkan pemukiman, harta benda, bahkan merenggut nyawa manusia, disebabkan perbuatan umat manusia sendiri. Berbagai pembangunan yang menyalahi tata lingkungan dan konservasi alam marak di sekitar Bopuncur (Bogor-Puncak-Cianjur) hingga Jakarta. Daerah resapan air dirusak. Masalah lingkungan diabaikan. Begitu juga, penebangan liar di hutan-hutan selama tiga tahun terakhir juga memiliki andil terjadinya banjir.
Pembangunan dengan mengabaikan fungsi lingkungan seperti itu, jelas termasuk dlarar. Dan Islam telah mengharamkan segala macam perkara yang membahayakan (dlarar) terhadap umat manusia. Sabda Rasulullah saw.: Tidak berbahaya dan saling membahayakan.
Siapa yang membuat dlarar maka Allah akan memberikan dlarar dengan perbuatannya tersebut, dan siapa yang membuat kesusahan maka Allah akan menyusahkan dirinya.
Yang dimaksud dengan dlarar adalah menghilangkan/menolak manfaat. Dlarar yang menimpa diri sendiri maupun orang lain hukumnya adalah haram. Dengan demikian, melakukan dlarar adalah kemaksiatan. Maka pembangunan vila dan berbagai perumahan mewah di kawasan Puncak yang mengabaikan manfaat/fungsi alam—sebagai kawasan resapan air, atau pembangunan di kawasan rawa-rawa yang berfungsi penampungan air dan secara sunatullah mengakibatkan banjir merupakan tindakan dlarar. Dan itu adalah tindak kemaksiatan.
Lebih-lebih lagi, telah menjadi rahasia umum bahwa banyak perumahan mewah dan vila di kawasan yang sebenarnya telah diketahui memiliki fungsi vital bagi lingkungan, berdiri dengan izin yang berbau kolusi antara penguasa setempat dengan para developer. Di masa Orde Baru misalkan, ada seorang menteri perumahan yang mengobral perizinan untuk membangun pemukiman mewah di kawasan Bogor, Puncak, Cianjur, seluas 150.000 hektar. Padahal luas lahan pembangunan di DKI saja cuma 65.000 hektar (Media Indonesia, 03/02). Sudah melakukan dlarar ditambah lagi KKN. Inilah suatu bentuk kemaksiatan yang secara sebab-akibat alami mengakibatkan banjir.
Adapun kemaksiatan yang tidak secara langsung mengakibatkan banjir adalah meninggalkan penerapan hukum-hukum Allah Pencipta semesta alam. Termasuk didalamnya berbagai macam kemungkaran semisal prostitusi, perjudian, maraknya riba, kaum wanita yang tidak menutup aurat, menerapkan demokrasi, pluralisme, berwali kepada kaum kafir dan menjauhkan umat dari Islam. Hal ini menyebabkan tidak adanya berkah baik dari langit maupun bumi. Sebab, berkah itu hanya diberikan kepada bangsa yang beriman dan bertakwa. Allah swt. memberitahu kita: Andai saja, penduduk negeri beriman dan bertakwa pasti Kami akan bukakan berkah-berkah atas mereka dari langit dan bumi. (QS. al-A'râf [7]: 96).
Dengan demikian bencana banjir yang menimpa sebagian masyarakat merupakan tadzkirah, peringatan bagi umat manusia, akibat kemaksiatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat atau semua elemen masyarakat. Allah swt. menegaskan :
Dan takutlah akan fitnah (malapetaka) yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim diantara kalian saja. (QS. al-Anfâl [8]: 25).

Peran Negara dan Sesama Muslim
Islam memerintahkan negara untuk mengurusi urusan rakyat. Karenanya, negara (daulah) yang menerapkan hukum Islam secara tegas akan melarang berbagai tindakan dlarar yang dapat merusak keseimbangan lingkungan. Bahkan Daulah Islamiyah akan menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang melakukan tindakan destruktif; penebangan liar, mendirikan bangunan di atas Daerah Resapan Air (DRA), membuang limbah yang beracun dan berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan, dsb. Daulah juga akan memberikan sanksi bagi para aparat pemerintah yang memberi izin bagi pembangunan di daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Apalagi jika izin tersebut dikeluarkan melalui praktik-praktik KKN. Adapun jika bangunan tersebut telah berdiri maka daulah akan membongkarnya, karena daulah berkewajiban menjaga kemaslahatan umat.
Jika terjadi bencana alam menimpa masyarakat, seperti banjir, negaralah yang pertama kali harus turun tangan memberikan bantuan dan pertolongan bagi rakyat. Ini adalah bagian dari tugas dan peran negara dalam ri'âyah asy-syu'un al ummah. Negara tidak boleh mengandalkan apalagi melimpahkannya kepada pihak masyarakat, tanpa terlebih dahulu berusaha melakukan kewajiban tersebut secara maksimal. Fakta bencana banjir yang terjadi memperlihatkan bahwa pemerintah—daerah maupun pusat—tidak melakukan penanganan tugas tersebut secara maksimal. Mereka lamban dan tidak cekatan. Ketika BMG jauh-jauh hari memberitahu akan terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi pada tahun 2002, pemerintah tidak mengantisipasinya dengan baik. Membangun kanal penahan banjir ataupun perlengkapan search and rescue yang memadai. Bahkan bantuan makanan, obat-obatan serta kebutuhan sehari-hari sudahlah datang terlambat, juga tidak mencukupi.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara juga telah menyiapkan pos pembelanjaan bagi korban bencana alam di bayt al-mal. Pendapatan pos korban bencana alam itu dapat diperoleh dari kharaj, ghanimah, fa'i, shadaqah, harta orang meninggal yang tidak memiliki ahli waris, harta orang murtad, dan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan kepemilikan umum. Dengan memperhitungkan seluruh sumber pendapatan tadi, maka daulah akan mampu menangani korban bencana alam. Seandainya anggaran untuk korban bencana alam itu tidak mencukupi, maka negara diperbolehkan untuk memungut pajak dari kaum muslim yang memiliki harta berlebih. Selain itu, prioritas dana ditujukan bagi kepentingan masyarakat. Prioritas bukan untuk pakaian para pejabat, mendanai pesta olahraga, membangun berbagai patung peringatan, atau hanya sekedar mempercantik kota.
Meski tanggung jawab itu sepenuhnya berada di tangan negara, namun Islam juga mendorong setiap individu untuk memberikan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang melapangkan suatu kesukaran dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan baginya kesukaran di hari Kiamat. (HR. Bukhari Muslim).
Berjalannya seseorang di antara kalian untuk memenuhi kebutuhan saudaranya sampai terpenuhi, lebih baik baginya daripada i'tikaf di masjidku selama sepuluh tahun.

Wahai kaum Muslim!
Marilah kita membantu sesama saudara kita yang tengah terkena musibah banjir!
Marilah kita renungkan bahwa sesungguhnya banjir ini adalah peringatan dari Allah atas berbagai tindak kemungkaran yang dilakukan manusia sendiri; apakah umat ini akan terus bersikap mencampakkan hukum-hukum Allah dan terang-terangan melakukan kemaksiatan, ataukah kembali kepada hukum-hukum Allah yang menjanjikan keberkahan dan kebaikan dari-Nya? Ataukah umat ini akan terus menutup mata dan berpura-pura atas seluruh kemungkaran yang berlangsung di tengah-tengah mereka?

Wahai kaum Muslim!
Itulah realitas para penguasa yang tidak berhukum pada hukum Islam! Kembalilah kepada orang-orang yang ikhlas dan siap menegakkan aturan-aturan Islam! Yakinlah, kemuliaan hanya ada pada Allah, Rasul, dan kaum beriman. Allahu Akbar!

0 komentar:

Posting Komentar