Rabu, 20 April 2011

MERENUNGKAN KEMBALI MAKNA KEMERDEKAAN

Sudah menjadi tradisi, setiap bulan Agustus masyarakat kita bersuka-cita memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Berbagai kegiatan digelar untuk memeriahkan ulang tahun kemerdekaan tersebut; tak hanya di kota, tetapi juga di pelosok-pelosok desa. Kantor-kantor, jalan-jalan raya, bahkan lorong-lorong perkampungan pun dihiasi dengan berbagai hiasan menarik hingga menambah maraknya peringatan kemerdekaan. Semua itu terkesan seolah-olah masyakat Indonesia memang benar-benar telah merdeka.
Benarkah kita telah merdeka? Jika benar, mengapa masih banyak kebijakan yang sarat dengan pengaruh dan tekanan pihak asing. Dalam kasus penembakan warga AS di Timika belum lama ini, misalnya, Amerika berusaha ikut campur dalam penanganan kasus tersebut. Meskipun sejumlah anggota FBI telah disertakan dalam penyelidikan kasus itu, tetap saja mereka belum puas. Bahkan Amerika berencana akan menghentikan program bantuan militernya jika Indonesia ‘tidak serius’ menangani kasus Timika. Di bidang ekonomi, pengaruh pihak asing juga tak kalah kuatnya. Sebagai contoh, kebijakan pencabutan berbagai subsidi, khususnya BBM, jelas tak lepas dari tekanan pihak asing. Gus Dur, ketika menjabat presiden, pernah mengatakan bahwa kenaikan harga BBM sebenarnya tidak dikehendaki oleh Pemerintah. Namun, karena ada dalam LoI dengan IMF, mau tidak mau, kebijakan tersebut harus diambil. Aset-aset strategis kita pun makin hari makin habis. Dengan adanya program privatisasi, banyak aset-aset strategis akhirnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. PT Dirgantara Indonesia, yang kasus PHK ribuan karyawannya mencuat belum lama ini, juga sudah direncanakan untuk dijual ke perusahaan asing. Jika demikian keadaannya, otoritas apa lagi yang masih dimiliki oleh bangsa ini? Bukankah semuanya telah tergadai pada pihak asing?
Belum lagi jika kita menengok nilai-nilai budaya yang berkembang di tengah masyarakat; yang kita jumpai adalah berkembangnya nilai-nilai budaya Barat. Ironis bukan, negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini justru dibanjiri oleh budaya kafir Barat.

Pandangan Islam Tentang Kemerdekaan
Dalam konteks individu, seseorang dapat dikatakan merdeka manakala ia terbebas dari penyembahan atau ibadah pada sesuatu yang tidak layak disembah. Secara bahasa, ibadah artinya adalah taat. Satu-satunya Zat yang patut ditaati tidak lain adalah Allah Swt. Sebab, Allah-lah Al-Khâliq, Zat yang telah menciptakan manusia dan seluruh alam semesta ini. Allah adalah Pencipta dengan segala kekuasaan-Nya, sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan Allah dengan segala keterbatasannya. Oleh karena itu, wajar jika manusia harus menjalankan ketaatan kepada Allah. Inilah hakikat kemerdekaan dalam konteks individu, yaitu penghambaan manusia secara total pada Zat yang menciptakan dirinya. Allah Swt. berfirman: Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An‘am [6]: 162).
Sebaliknya, tidak wajar jika manusia rela tunduk, patuh, dan taat kepada sesama manusia atau makhluk lain. Padahal, masing-masing memiiki derajat yang sama, yaitu sebagai makhluk. Jika hal ini terjadi, hakikatnya manusia telah menghambakan dirinya kepada sesama makhluk. Itu berarti dia telah menjadi budak, bukan lagi menjadi orang yang merdeka. Bisa jadi, dia menghambakan dirinya kepada sesama manusia, pada hawa nafsunya, atau pada kepentingan dunianya. Allah Swt. berfirman: Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (QS al-Furqan [25]: 43-44).
Dalam konteks masyarakat atau negara, kita bisa mengatakan bahwa sebuah masyakarat atau negara yang merdeka adalah masyarakat atau negara yang pemikiran, perasaan, dan aturan yang ditegakkan di dalamnya adalah aturan Allah semata. Aturan Allah-lah yang dijadikan rujukan sekaligus diterapkan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya, pidana, pertahanan, maupun keamanan. Sebaliknya, jika aturan yang diterapkan dalam masyarakat atau negara adalah aturan manusia atau yang berasal dari ideologi buatan manusia, masyarakat atau negara tersebut hakikatnya masih dalam keadaan terjajah. Jadi, kemerdekaan bagi sebuah negara tidaklah cukup dimaknai sebatas terbebasnya suatu negara dari penjajahan secara fisik atau militer. Makna semacam ini tentu saja sangat sempit. Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiah Li Hizbit Tahrir hlm. 13, mengatakan bahwa penjajahan (al-isti’mar) adalah dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas bangsa yang kalah dalam rangka mengeksploisasinya. Dengan demikian, bangsa Indonesia saat ini belum dapat dikatakan telah merdeka secara hakiki.

Agar Kita Tak Dijajah
Jauhnya umat Islam dari pemahaman-pemahaman Islam telah menjadi jalan mulus bagi negara penjajah untuk menyukseskan program penjajahannya. Sejarah membuktikan, pada saat kaum Muslim masih terjaga dan terpelihara pemahaman Islamnya, negara penjajah Eropa tak mampu menggoyahkan kekuasaan Khilafah Islamiyah. Baru setelah pemahaman Islam kaum Muslim mulai melemah, mereka bisa menyusupkan pemikiran-pemikiran asing seperti paham nasionalisme/kebangsaan. Masuknya pemikiran asing tersebut selanjutnya menjadi jalan mulus bagi negara penjajah untuk memecah-belah wilayah Khilafah Islamiyah. Mulailah negeri kaum Muslim terpecah dan dikuasai bagian demi bagian oleh negara penjajah secara militer.
Pasca Perang Dunia II, bentuk penjajahan secara militer dinilai tidak lagi menguntungkan. Oleh karena itu, dimulailah model penjajahan baru yaitu penjajahan secara politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Lalu negara-negara yang sebelumnya dijajah secara militer diberi kesempatan oleh sang penjajah untuk “merdeka”. Pada periode ini, Amerika-lah yang telah berhasil mengambil banyak peranan. Jadi, meskipun negeri-negeri Muslim tidak lagi dijajah secara militer (kecuali Irak saat ini yang tengah dijajah secara baik secara politik maupun militer), hakikatnya negeri-negeri tersebut tetap dijajah dengan model penjajahan penjajahan baru.
Untuk melapangkan jalan bagi penjajahan model baru tersebut, Amerika terlebih dulu memasukkan ide-ide kufur seperti demokrasi beserta turunannya seperti kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan individu. Ide-ide inilah yang memperlancar langkah-langkah praktis berikutnya. Misalnya, masuknya persahaan-perusahaan asing dengan mudah ke negeri-negeri Muslim untuk menguras kekayaan alamnya terjadi setelah masuknya ide-ide tentang kebebasan kepemilikan. Masuknya produk film-film Barat pun terjadi setelah masuknya ide-ide tentang kebebasan individu. Demikian seterusnya.
Jika demikian keadaannya, bagaimana upaya yang harus dilakukan umat Islam agar dapat melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Dalam kaitan ini, kaum Muslim harus melakukan hal-hal berikut:
1. Membentuk pemikiran ideologis. Artinya, kaum Muslim harus memahami Islam sebagai sebuah ideologi, yang terdiri dari akidah dan syariat, yang berfungsi untuk memecahkan seluruh problematika hidup manusia. Umat harus yakin bahwa Islam merupakan aturan hidup yang sempurna, yang tidak lagi membutuhkan pengurangan atau penambahan dari aturan-aturan lain di luar Islam.
2. Tidak berpikir pragmatis. Artinya, kaum Muslim tidak boleh terjebak oleh kepentingan-kepentingan sesaat atau jangka pendek dalam mengambil sikap dan keputusan. Setiap sikap dan keputusan harus diambil berdasarkan pertimbangan ideologi Islam. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi, penyelesaiannya bukan dengan mengundang IMF, tetapi harus ditelusuri akar permasalahannya, lalu dipecahkan dengan mengacu pada ideologi Islam yang memiliki konsep tersendiri dalam bidang ekonomi.
3. Memiliki kepekaan politis. Hal ini penting agar umat tidak mudah tertipu oleh manuver-manuver politik kaum penjajah berserta kroninya yang ingin melanggengkan penjajahannya. Sebagai contoh, umat harus memahami kampanye yang kumandangkan Amerika tentang “Perang melawan Teroris”. Apa dan siapa yang dimaksud teroris oleh Amerika? Apa target Amerika di balik kampanye tersebut? Demikian seterusnya.
4. Meraih kemuliaannya dengan Islam. Kaum Muslim harus memahami bahwa kemuliaan hidupnya, di dunia dan akhirat, hanya bisa diraih dengan mewujudkan tegaknya aturan Islam. Sebaliknya, kehinaannya di dunia dan akhirat, semata-mata karena mengambil aturan penjajah. Semakin banyak ide-ide kufur yang diadopsi, akan semakin jauh umat terperosok ke dalam jeratan penjajahan.
Wahai Kaum Muslim, yang dimuliakan Allah
Sudah saatnya kita mengakhiri kondisi keterjajahan yang menimpa diri dan negeri kita. Sangat ironis bukan, jika penduduk negeri ini hidup bergelimang dengan kemiskinan, kelaparan, dan banyak pengangguran; padahal kekayaan alamnya melimpah. Kekayaan alam yang melimpah tersebut ternyata tak dapat digunakan untuk mensejahterakan hidup masyakarat, karena telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing dan atau dikelola dengan aturan-aturan penjajah. Sangat ironis pula jika negeri yang di dalamnya banyak orang-orang pintar dan terpelajar ini harus tunduk pada tekanan dan kehendak pihak asing. Hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki pemikiran ideologi Islam.
Walhasil, satu-satunya cara untuk membebaskan umat dari belenggu penjajahan adalah dengan memperjuangkan kembali terwujudnya kehidupan Islam. Hal ini dilakukan dengan melakukan penanaman pemahaman Islam secara ideologis kepada umat. Kesadaran idelogis ini akan berproses mewujudkan kemerdekaan hakiki dalam diri individu-individu Muslim, kemudian akan berproses lebih lanjut membentuk kesadaran kolektif untuk mewujudkan kemerdeaan hakiki dalam bentuk kehidupan Islam.

1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

Posting Komentar